MENGEJA JA-KAR-TA

Diterbitkan pada | Selasa, 04 Agustus 2020

Sumber: VHRMedia.com

Kelompok belajar membaca perempuan lanjut usia di Jakarta Utara. Ketimpangan
sosial masyarakat pinggiran Ibu Kota.

hervin_eef_menunjuk_huruf_kelas_baca_sukapura_dlm.jpg

Kelas buta huruf di utara Jakarta. Tiga generasi terasing dari abjad.

Naseroh, Mursani, dan Jaronah. Tiga nenek 60-an tahun ini menjadi
"pengecualian" identitas Jakarta sebagai kota metropolis. Apa yang
tak ada di Jakarta?
Jakarta adalah
jendela tempat melongok dunia luar. Sirkuit informasi dan teknologi yang keluar
masuk Jakarta
ibarat dinamo berkecepatan turbo.

Namun, coba tanyalah Naseroh, Mursani, dan Jaronah: kemana pernah pergi
paling jauh keluar dari kampung?

Namun, coba tanyalah Naseroh, Mursani, dan Jaronah: kemana pernah pergi
paling jauh keluar dari kampung?

"Kagak. Kita kagak punya sodara nyang jauh-jauh. Di sini-sini doang. Paling
Semper,Cakung," kata Mursani dengan logat Betawi pesisir.

Ketiga perempuan ini warga asli Jakarta.
Baik secara administrasi maupun kultural. Sejak lahir mereka tinggal di
Kelurahan Sukapura, Cilincing, Jakarta Utara.

Sebagai warga Jakarta,
bukankah ganjil jika ketiganya sama sekali tidak pernah beranjak jauh dari
Sukapura? Padahal, dari Sukapura ke kompleks pertokoan dan Mall of Indonesia di
Kelapa Gading hanya butuh 15 menit berkendaraan motor. Dengan sepeda motor,
jarak Sukapura ke Semper hanya butuh waktu 30 menit. Sedangkan dari Sukapura ke
Cakung cuma 20 menit.

Naseroh, Mursani, dan Jaronah tidak sendirian mengalami nasib ini. Di
kampung mereka ada puluhan perempuan lain yang juga belum pernah beranjak jauh
dari seputaran kasur, dapur, dan sumur.

Dengan mudah kita membaca ketertinggalan para perempuan Sukapura sebagai
efek pembangunan yang tidak merata. Di belahan Jakarta lainnya orang sibuk membangun mal
gemerlap, di sudut Sukapura para perempuan Betawi ini terjebak di ceruk
kemiskinan dan terasing dari dunia modern.

Setidaknya saya merasakan itu saat mengunjungi kelas belajar membaca untuk
ibu-ibu di musala At-Taqwa di RT 004 RW 003, Sukapura, Cilincing, Jakarta
Utara.

Musholla At-Taqwa berada di pojok kampung. Di belakangnya lapangan sepak
bola menghampar. Pada siang hari situasi sekitar musala lumayan tenang. Seperti
di desa. Saya dapat mendengar di kejauhan samar deru kendaraan yang melintasi
jalan tol lingkar utara Jakarta.

Musala At-Taqwa berlantai dua. Di lantai atas, program belajar buta aksara
digelar dua kali sepekan. Dua jam sehari tiap Selasa dan Minggu.

Naseroh, Mursani, dan Jaronah murid kelas tersebut bersama belasan perempuan
lainnya. Para nenek ini bergaul dengan pensil
dan buku untuk pertama kali sepanjang hidupnya. Tak ada meja. Hanya papan tulis
kecil bersandar pada tiang musala.

"I-bu ke pa-sar. A-yah ke ka-ntor. Ri-na ke se-kolah."

Perempuan-perempuan itu mengeja dengan lugu layaknya anak kecil yang belum
genap seminggu duduk di bangku SD.

hervin_eef_mengajar_sekolah_sukapura_dlm.jpg

"Ya namanya ngajarin usia lanjut. Saya mengira, mustahil aja
mereka nggak bisa baca. Tapi kenyataannya memang begitu," ujar Efrina, relawan
pengajar program buta aksara di musala At-Taqwa.

Efrina yang biasa dipanggil Eef adalah mahasiswi angkatan 2007 Jurusan
Pendidikan Luar Sekolah, Universitas Negeri Jakarta. Gadis jelita berusia 21
tahun ini menjadi relawan mengikuti jejak senior sejurusannya.

Menurut Eef, banyak kakak kelasnya menjadi relawan buta aksara Yappika,
lembaga nonprofit yang bergerak di bidang pemberdayaan dan pendidikan
masyarakat.

Dua kali sepekan Eef bersama teman kuliahnya, Catur, mengajar di Sukapura.
Eef bertanggung jawab mengajar ibu-ibu berusia di atas 40 tahun. Catur mengajar
ibu-ibu yang lebih muda.

Lokasi belajar yang ditangani Catur berada di Sekretariat PKK RT 004 RW 003.
Hanya sepelemparan batu dari musala At-Taqwa. Mereka dibantu mengajar ibu-ibu
lainnya yang sudah mahir membaca.

Di musala, Eef mengajar membaca seperti melatih anak yang belum pernah
mengenal abjad. Dengan tekun Eef menghampiri satu per satu muridnya untuk
memastikan apakah huruf yang ditulis sudah benar.

Beberapa nenek saling membandingkan hasil tulisan. Seorang nenek yang tampak
tidak yakin dengan apa yang ditulisnya, meminta pendapat nenek lainnya yang
dianggap lebih fasih menulis dan membaca.

"Perubahannya jelas. Kelihatan dari mereka memahami huruf a. Mempelajari
huruf a, b, c itu bisa dua minggu. Mereka suka ketuker-ketuker sih, jadi susah.
Kendalanya kalau ngajar kata per kata, mereka justru ngapalin kalimatnya. Jadi,
mereka nggak tahu itu sebenarnya huruf apa," kata Eef.

Bagi Eef, mengajar buta aksara klop dengan jurusan pendidikan yang
diambilnya. Dia menganggap kegiatan ini sebagai praktik kuliah. Dia mengaku
menemui banyak perbedaan antara teori yang dipelajari di kampus dengan praktik
di lapangan.

Menurut Eef, perbedaan teori dan praktik sangat tergantung karakter peserta
didik. Mengajar baca-tulis-hitung untuk anak kecil, tentu berbeda dari mengajar
siswa lanjut usia. Modul mengajar yang bisa diterapkan penuh di sekolah umum,
belum tentu sesuai dengan situasi siswa di Sukapura.

"Semua tergantung warga belajar. Ada
klasifikasi, dipengaruhi umurnya juga. Segi kesehatannya juga beda. Kami nggak
bisa sepenuhnya mengikuti modul, nggak kayak di sekolah (umum)," ujar Eef.

Selain menuntut ketekunan, mengajar buta aksara juga harus sabar. Eef sering
"gemas" pada muridnya karena harus mengulang pelajaran setiap datang ke
Sukapura. "Kami tiap datang mengulang dulu pelajaran yang sebelumnya."

Kelas belajar membaca di Sukapura dibuka dua kali setahun. Kelas membaca
saat ini memasuki bulan ke empat. Setiap program berakhir pada bulan ke enam,
yang ditandai ujian.

Curhat Ibu-ibu

hervin_suasana_kelas_sukapura_dlm.jpg

Frely Wigiarti bukan penduduk asli Sukapura. Dia perantauan
asal Semarang.
Sejak tahun 1983 bersama suaminya yang warga asli Sukapura, Frely menetap di
tempat itu.

Frely biasa dipanggil Elly. Sudah dua tahun menjadi Ketua RT 004. Dia
membuka pintu kampungnya lebar-lebar ketika mendapat informasi soal program
pembelajaran buta aksara dari Yappika.

Menurut Elly, setidaknya ada 50 perempuan berusia 25 tahun – 70 tahun yang
buta aksara di lingkungannya. Sedangkan warga laki-laki yang buta aksara
sekitar 30 orang. Warga RT 004 sekitar 200 keluarga.

Elly mengaku sempat mendengar komentar miring soal program belajar buta
aksara di lingkungannya. "Kemarin saya dengar ada suara-suara yang nggak enak,
‘sudah tua baru pada sekolah’."

Selain komentar miring, minat belajar perempuan buta aksara di Sukapura
semakin merosot. Sebagian karena tidak tertarik ikut belajar, sebagian lagi
karena kesibukan yang membuat ibu-ibu tak sempat datang. Dari 40 murid kelas
membaca, yang tersisa belasan. Naseroh, Mursani, dan Jaronah, termasuk murid
yang setia menunggu kedatangan Eef dan Catur.

"Kalo orang yang lulus (sekolah), kita dikata-katain. Nyolongnya,
nenek-nenek pada sekolah. Gua mah sebodo! Yang penting gua bisa," kata Mursani.

Lebih sekadar tempat belajar, kelas membaca di musala At-Taqwa dan kantor
PKK RT 004 menjadi ruang "curhat" ibu-ibu. Selepas menutup belajar dengan doa
bersama, mereka membicarakan masalah seputar rumah tangga.

Menurut Elly, kebanyakan penduduk asli Sukapura bekerja sebagai petani
upahan di kebun bayam atau kangkung di sekitar kampung. Sebagian lagi menjadi
pedagang, pengasuh anak, dan kuli bangunan. "Itu ibu Jaronah kalo pagi jual
nasi uduk," kata Elly.

Kemiskinan menjadi pangkal keterbelakangan sosial warga Sukapura. Warga asli

generasi Naseroh, Mursani, dan Jaronah tidak sekolah karena terhimpit
persoalan ekonomi. Ditambah lagi kultur masyarakat Betawi kolot yang menganggap
belajar agama lebih penting ketimbang sekolah formal. "Orang sini yang penting
ngaji," kata Elly.

Meski demikian, warga Sukapura tak pernah absen mengikuti pemilu. Dengan
keterbatasan kemampuan membaca, ibu-ibu itu mengaku tetap menggunakan hak
pilih. Konsekuensinya, banyak kertas suara tidak sah karena salah coblos.
"Harusnya ditusuk di tengah, kadang-kadang ditusuknya di luar garis. Banyak
juga sih. Ada
sekitar 20 orang yang begitu," ujar Elly.

Suatu hari Mursani mengeluhkan penyakit diabetes yang dideritanya. Seperti
mengadu, Mursani bicara ke "bu erte" tentang penyakit yang membuat kakinya tak
sanggup berjalan jauh. Elly memberi tahu Mursani tentang program kesehatan
gratis.

"Dari Bachtiar (nama tempat di Sukapura), ngalor kan masuk. Tanya, ‘pos RW di sini mana ya?
Yang ada pengobatan?’ Itu sebulan sekali. Kemarin saya bawa orang kencing
manis. Saya bawa ke Rumah Sakit Satya Negara. Itu gratis, dijamin semua. Atau
Mpok suruh anaknya nganterin aja. Saya tunggu di Bahctiar, ntar saya anter ke sana," kata Elly.

hervin_eef_mengajar_kelas_baca_sukapura_dlm.jpg

Selepas belajar, kami berjalan melewati gang kecil
meninggalkan musala At-Taqwa.

Mendung belum habis meski gerimis baru selesai.

Di mulut gang, Eef berhenti dan menyapa nenek yang tampak bersiap mandi.
"Ibu, kok tadi nggak datang?" tanya Eef.

Catur yang berada di belakang Eef nyeletuk. "Ibu itu tadi datang. Lo Lupa?"

"Oh iya," kata Eef.

Eef dan nenek bertubuh bungkuk itu bicara sebentar. Eef menanyakan kesehatan
si nenek. Nenek sekaligus murid itu menjawab setiap pertanyaan gurunya dengan
senyum tulus. (*)

Foto: VHRmedia/Hervin Saputra

  • Hervin Saputra / Angga
    Haksoro
  • 21 Januari 2011 – 16:42 WIB

Tag :