APBN P 2015 Anggaran Rasa Liberal dan Sentralistik

Diterbitkan pada | Selasa, 04 Agustus 2020

APBN P 2015 Anggaran Rasa Liberal dan Sentralistik


Pendahuluan

APBN merupakan instrumen ideologis dan jangkar perekonomian untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. Kebijakan anggaran negara adalah usaha untuk menyelenggarakan suatu pemerintahan yang dapat mengaktualisasikan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945. Akan tetapi, tantangan dalam menyusun APBN yang konstitusional amatlah berat. Yang paling pokok adalah orientasi kebijakan ekonomi nasional secara umum yang terlanjur berseberangan dengan maksud konstitusi. Akibatnya, kebijakan fiskal dibuat mengikuti format struktur ekonomi yang terlanjur liberal semacam itu. Ruang manuver dalam menjalankan agenda ekonomi kerakyatan sangat terbatas, hal tersebut dikarenakan kebijakan anggaran negara yang tersandera oleh agenda-agenda kapitalisme-liberalisme.

Terpilihnya Jokowi – JK sebagai presiden dan wakil presiden RI seharusnya dapat membawa arah perubahan dalam kebijakan anggaran negara. Sebagaimana janjinya, perubahan tersebut dilakukan dengan cara menjadikan “Trisakti” sebagai haluan dan garis ideologi dalam pengelolaan pembangunan nasional. Agenda ini menghendaki disusunnya kebijakan anggaran negara yang sesuai dengan semangat trisakti, khususnya pada tahun pertama pembahasan anggaran perubahan. APBNP 2015 bukan saja merupakan batu uji bagi komitmen “perubahan” yang dijanjikan kabinet kerja, akan tetapi sekaligus menjelaskan orientasi pembangunan Indonesia ke depan.

Akan tetapi perkembangan RAPBNP 2015 tidaklah menggembirakan. Pemerintah nampaknya sedang getol melakukan propaganda penghematan anggaran. Untuk kepentingan penghematan pula, dalam Nota Keuangan RAPBN Perubahan 2015, pemerintah memangkas habis subsidi BBM jenis Premium. Selain itu pemerintah juga memangkas subsidi BBM jenis solar menjadi subsidi tetap sebesar Rp1.000 per liter. Alasan pemerintah subsidi BBM telah menjadi beban APBN dan sekaligus membatasi keuangan negara untuk membiayai kegiatan lain yang lebih produktif. Sebaliknya postur APBNP justru melenceng jauh dari janji perubahan yang pro rakyat.

Catatan Kritis

Berikut adalah catatan-catatan kritis yang kami ditemukan dalam usulan pemerintah terhadap pembangunan nasional yang dituangkan dalam APBNP 2015, antara lain:

1. Pajak masih berorientasi pada Negara tujuan pasar dan belum menyentuh pajak orang kaya.

Pendapatan dari sektor pajak direncanakan akan naik sebesar Rp. 104,598 triliun, dengan komposisi sekitar 36,4 triliun kenaikan dari pajak penghasilan, 51,5 triliun dari pajak pertambahan nilai, dan 14,9 triliun dari cukai. Selain itu Penurunan target dari pajak perdagangan mengalami penurunan 4,3 triliun dan pajak bea masuk juga menurun sekitar 2,1 triliun, dalam hal ini semakin menegaskan Indonesia akan tetap menjadi tujuan pasar dalam perdagangan.

2. Kebijakan pemerintah untuk menurunkan pendapatan negara dari bagian laba BUMN tidak memiliki dasar yang kuat.

Dengan nilai aset BUMN per 31 Desember 2013 yang mencapai Rp.4.216 triliun dan Penyertaan Modal Negara (PMN) kepada BUMN sebesar Rp793 triliun, sebenarnya BUMN memiliki potensi pendapatan negara yang signifikan. Namun kenyataannya, kontribusi pendapatan bagian laba BUMN rata-rata hanya mencapai 21,3% tiap tahunnya selama 2010-2013. Kecilnya setoran laba BUMN tersebut karena sebagian besar laba yang diperoleh cenderung ditahan di masing-masing BUMN. Bahkan per Desember 2013, laba ditahan telah mencapai Rp509,8 triliun.

3. Kebijakan pengurangan subsidi (terutama subsidi energi) merupakan kejahatan terhadap rakyat miskin dan pro neoliberal.

Dalam RAPBNP 2015, perubahan kebijakan belanja terbesar adalah pemotongan anggaran untuk subsidi energi sebesar Rp186,3 triliun (dari alokasi sebesar Rp 344,7 triliun di APBN 2015 menjadi Rp 158,4 triliun). Selain itu, rencana pemerintahan Jokowi-JK untuk mengurangi secara bertahap alokasi subsidi energi di dalam APBN, dan menyerahkan harga BBM menurut mekanisme pasar bertentangan dengan Keputusan Mahkamah Konstitusi. Pemotongan besar-besaran subsidi energi (terutama BBM, BBN, dan LPG 3 Kg) yang dilakukan oleh pemerintah akan mengurangi daya saing industri nasional melebarnya kesenjangan di tengah rakyat.

4. Selama ini kebijakan pengurangan subsidi BBM diikuti dengan peningkatan alokasi pada belanja pegawai dan belanja barang.

Dalam periode 2001-2014, pengurangan subsidi BBM yang ditandai oleh kenaikan harga BBM sebesar 465 persen (rata-rata 33 persen per tahun), selain bermuara pada penurunan subsidi BBM terhadap belanja pemerintah pusat dari 26,2 persen menjadi 19,3 persen, ternyata diikuti oleh peningkatan belanja pegawai dan belanja barang pemerintah pusat dari 18,7 persen menjadi 37,6 persen. Dalam periode yang sama, subsidi BBM turun dari 4,1 persen menjadi 2,4 persen PDB atau turun 1,7 persen PDB. Sebaliknya, belanja pegawai dan belanja barang pemerintah pusat meningkat dari 2,9 persen menjadi 4,8 persen PDB atau meningkat 1,9 persen PDB. Relatif terhadap belanja pemerintah pusat, belanja modal 2001-2014 justru turun dari 16 persen menjadi 12,6 persen. Dalam rencana APBN Perubahan 2015, ada kenaikan belanja K/L sebesar Rp 132,2 triliun, yang sebelumnya hanya Rp 647,3 triliun dalam APBN 2015 naik menjadi Rp 779,5 triliun.

5. Pembayaran bunga utang semakin besar dan membatasi kemampuan negara untuk menjalankan kewajiban konstitusi untuk melindungi, mencerdaskan dan menyejahterakan rakyat.

Alokasi pembayaran bunga utang dalam RAPBNP 2015 sebesar Rp155,3 triliun tidak dianggap sebagai komponen dan membebani anggaran negara. Selain pembayaran bunga utang luar negeri, APBN juga terus menanggung pembayaran bunga obligasi rekapitalisasi dari Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Beban pembayaran utang tersebut akan terus menggerogoti Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) hingga tahun 2030.

6. Peningkatan dana DAK dan diturunkannya dana bagi hasil merupakan bentuk kebijakan yang cenderung sentralistik.

Tambahan alokasi untuk Dana Alokasi Khusus (DAK) sebesar Rp 20 triliun yang diikuti dengan penurunan Dana Bagi Hasil (DBH) sebesar Rp 15,1 triliun (dari Rp 127,7 triliun di APBN 2015 menjadi Rp 112,6 trilun). Dalam hal ini semakin mempersempit ruang fiskal bagi Kab/Kota, dimana pembangunan nasional akan dijalankan oleh pemerintah pusat melalui Kementerian/Lembaga yang ditunjuk. Program pusat yang akan dijalankan oleh Kab/kota antara lain Infrastruktur irigasi, pertanian, transportasi (subbidang jalan), sarana perdagangan, Kesehatan (sub bidang kesehatan rujukan)

7. Penyertaan Modal Negara (PMN) kepada 40 BUMN berpotensi merugikan rakyat dan tanpa persiapan yang memadai.

RAPBNP 2015 mengalokasikan Penyertaan Modal Negara (PMN) sebesar Rp72,9 triliun yang akan diberikan kepada 40 BUMN. Nilainya meningkat 1.328% atau sekitar Rp67,8 triliun dari alokasi APBN tahun 2015 yang hanya sebesar Rp5,1 triliun. Dari total jumlah PMN tersebut, Kementerian BUMN mengajukan Rp48,01 triliun untuk 35 perusahaan, yang terdiri atas Rp46,8 triliun PMN tunai dan Rp1,21 triliun PMN nontunai. Adapun sisanya sekitar Rp27 triliun adalah PMN untuk BUMN di bawah Kementerian Keuangan. Dari total PMN infrastruktur dan kemaritiman sebesar Rp50,7 triliun dalam APBNP 2015 berpotensi tidak sepenuhnya dinikmati oleh BUMN. Sekurang-kurangnya uang rakyat sebesar Rp20.3 triliun yang akan diberikan kepada PT SMI diperuntukkan secara langsung bagi pembiayaan sektor swasta yang pengelolaan infrastrukturnya dilakukan secara komersial. Dari sisi ini, patutlah rakyat mewaspadai bahwa pemberian PMN infrastruktur dalam RAPBNP 2015 merupakan cara legal untuk melakukan praktek komersialisasi penyediaan infrastruktur di Indonesia. Selain itu, dengan terbatasnya waktu pembahasan APBN Perubahan 2015 di DPR, sulit mengharapkan bahwa dana PMN ke BUMN ini akan menghasilkan kualitas perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi pembangunan infrastruktur yang baik yang melibatkan partisipasi rakyat dan diperuntukkan bagi hajar hidup orang banyak di Indonesia. Dalam kondisi ini, kita patut khawatir bahwa penambahan PMN dapat kembali menjadi bancakan para elit politik.

8. Defisit turun, tapi penarikan utang baru meningkat.

RAPBNP 2015 merencanakan penarikan utang baru sekitar Rp460 triliun. Yang rencananya akan dilakukan melalui: (1) penerbitan Surat Berharga Negara (bruto) sekitar Rp410 triliun, atau meningkat dari APBN 2015 sebesar Rp383triliun; (2) penarikan utang luar negeri Rp49.232 triliun, meningkat dari APBN 2015 sebesar Rp47.037 triliun. Dengan besarnya jumlah penarikan utang tersebut, pemerintah tidak saja mengingkari janji kemandirian ekonomi, tetapi kembali menyerahkan perekonomian Indonesia diintervensi oleh pihak asing. Apalagi sejumlah Kemeneterian/Lembaga yang mendapat alokasi pinjaman dalam RAPBNP 2015 (antara lain: Kemendagri, Kementerian PU&Pera, Kementerian Kesehatan, Kementerian Pendidikan Kebudayaan, Kepolisian dan LIPI) sesungguhnya tidak layak dan sangat bertolak belakang dari semangat TRISAKTI. Di sisi lain, pemerintah juga merencanakan komitmen pinjaman siaga sebesar Rp 61 triliun dalam APBN-P 2015, yang telah disiapkan sejak tahun 2012 hingga pertengahan 2015 (belum digunakan fasilitas tersebut). Komitmen pinjaman siaga tersebut berasal dari World bank sebesar Rp 24,4 triliun, ADB sebesar 6,1 triliun, Pemerintahan Jepang (JBIC) sebesar Rp 18,3 triliun, dan Pemerintah Australia sebesar Rp 12,2 triliun.

Perubahan Anggaran dan Pembiayaan K/L APBN 2015 dan APBN P

APBN 2015 647.309,9
APBN Perubahan 2015 132.226,9
No Uraian Perubahan K/L Alokasi
(Rp miliar)
1 Perubahan Pagu Penggunaan PNBP/BLU Kemenag, Kemkes, KemenHukam, Kemen ESDM, KemenKel&Per, dan Kemendagri 1.909,2
2 Perubahan sumber pinjaman Luar Negeri Kemendagri, Kemenhub, Kemendikbud, Kemenkes, Kemenag, kemen PU&Pera, Kepolisian, LIPI, KemenkoPolHukam 1.875,9
3 Perubahan Sumber Hibah (440,9)
4 Perubahan SBSN (316,1)
5 Realokasi dari BA BUN

– cadangan perlindungan sosial (realokasi BA BUN ke BA Kemensos)

– cadangan tunjangan kinerja ke beberapa K/L
Belanja Pegawai
– Kemenko Bidang perekonomian
– MA
– BPKP
– KemenHUkam
– Kemenkeu
– Kejaksaan
– Komnas HAM

B. Cadangan Perlindungan Sosial
– Kemensos
4.083,4







5.000,0
6 Perubahan sumber pinjaman Luar Negeri Kemendagri, Kemenhub, Kemendikbud, Kemenkes, Kemenag, kemen PU&Pera, Kepolisian, LIPI, KemenkoPolHukam 1.875,9
7 Perubahan sumber pinjaman Luar Negeri Kemendagri, Kemenhub, Kemendikbud, Kemenkes, Kemenag, kemen PU&Pera, Kepolisian, LIPI, KemenkoPolHukam 1.875,9
RAPBN-P 2015 779.536,9


Rekomendasi

1. Meningkatkan sumber-sumber penerimaan negara dengan cara melakukan koreksi terhadap kebijakan perpajakan dan non pajak. Kebijakan perpajakan haruslah berorientasi progresif yang dapat menyasar lapisan atas kelompok masyarakat, perusahaan-perusahaan besar dan korporasi multinasional. Dalam peningkatan penerimaan non-pajak dilakukan dengan cara memperbaiki tata kelola SDA untuk menghindari kerugian negara dari praktek bisnis dan adanya ketidakadilan kontrak-kontrak kerja sama berupa hak pengelolaan bagi hasil, royalti/penjualan SDA dan optimalisasi pengelolaan BUMN.

2. Menolak praktek pengurangan subsidi-subsidi untuk rakyat, terutama subsidi yang bersentuhan langsung dengan roda hidup dan ekonomi rakyat yaitu subsidi energi listrik, bbm dan LPG 3 kilogram. Pengurangan subsidi tersebut telah berdampak pada peningkatan harga bahan pokok yang tidak kunjung menurun.

3. Mengurangi beban pembayaran bunga utang secara progresif dan mendesak pemerintah dan DPR menghapuskan pembayaran bunga obligasi rekap dalam NK RAPBN Perubahan 2015 dan mengalihkan dana itu untuk melaksanakan kewajiban konstitusional negara. Misalnya, untuk membangun sistem transportasi umum massal. Hasilnya tentu saja bisa meningkatkan kinerja pemerintah dalam menyediakan pelayanan umum. Transportasi umum massal yang nyaman dengan biaya murah dapat menurunkan tingkat penggunaan kendaraan pribadi. Praktis bisa berkontribusi pada berkurangnya tingkat kemacetan. Dampak ikutan lainnya adalah bisa menurunkan konsumsi pemakaian BBM.

4. Meninjau ulang pemberian Penyertaan Modal Negara (PMN) kepada 40 BUMN sebelum dilakukan studi kelayakan yang memadai terhadap kegiatan/proyek yang akan dilakukan. Menolak upaya terselubung komersialisasi penyediaan infrastruktur yang dibiayai melalui PMN dan menolak penggunaan PMN sebagai tambahan modal BUMN dalam melaksanakan privatisasi terselubung. Diperlukan juga regulasi yang mengatur dengan tegas prosentase minimal laba ditahan termasuk mengenai jumlah PMN ataupun penerima PMN.

5. Pemerintah harus mengubah format APBN defisit yang selama ini menjadi legitimasi penarikan utang-utang baru dan mendorong optimalisasi alternatif pendanaan pembangunan di luar utang untuk mewujudkan kemandirian dan kedaulatan ekonomi nasional. Pemerintah dan DPR juga harus mengupayakan suatu langkah diplomasi ekonomi untuk memanfaatkan peluang dan fasilitas penghapusan utang-utang Indonesia, terutama yang termasuk dalam kategori utang najis dan tidak sah (Odious Debt/Illegitimate Debt) dengan pihak kreditor.

6. Untuk menjalankan cita-cita bahwa daerah merupakan ujung tombak pelayanan publik, maka pemerintah harus memberikan ruang fiskal yang lebih besar kepada Daerah (Kabupaten/Kota) dalam menjalankan pembangunan nasional dengan meningkatkan Alokasi Dana Bagi Hasil Daerah dan mengurangi Dana Alokasi Khusus yang dikerjakan oleh pemerintah pusat.


Jakarta, 4 Februari 2015

KOALISI MASYARAKAT SIPIL UNTUK APBN KESEJAHTERAAN

Forum Indonesia Untuk Transparansi Anggaran (FITRA), Koalisi Anti Utang (KAU), Perkumpulan Prakarsa, Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M), Yayasan Penguatan Partisipasi, Inisiatif dan Kemitraan Masyarakat (YAPPIKA), Asosiasi Pendamping Perempuan Usaha Kecil (ASPPUK), Indonesia Human Right Committee for Social Justice (IHCS), Indonesia for Global Justice (IGJ), Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)



Tag :

korporasi