Diterbitkan pada | Jumat, 21 Oktober 2022
Siti Atiah remaja remaja perempuan berusia 21 tahun dari Desa Tamanjaya biasa dipanggil Atiah. Saat ini Atiah dalam tahap penyusunan skripsi di Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Kuliah dan mendapat pendidikan tingkat perguruan tinggi adalah sebuah prestasi bagi remaja perempuan dari Desa Tamanjaya karena untuk bisa menyelesaikan sekolah tingkat SMA butuh perjuangan dan semangat luar biasa. Kira- kira begini perjuangannya.
Sebelumnya, Atiah bersekolah di Madrasah Aliyah Negeri (MAN) 4 Pandegang yang berjarak + 36 km dari rumah. Untuk bisa sampai sekolah yang waktu pelajarannya dimulai pukul 7.15 WIB, Atiah harus berangkat dengan angkutan paling pagi dari desa Tamanjaya, yaitu pukul 3.00 WIB. Artinya Atiah harus bangun paling lambat pukul 02.30 WIB untuk persiapan ke sekolah dan jalan ke tempat angkutan umum mangkal. Kondisi jalanan yang rusak lumayan panjang, menyebabkan butuh waktu tempuh ke sekolah lebih lama, jadi tak jarang Atiah terlambat. Sebenarnya ada alternatif lain, seperti sewa kost dekat sekolah, hanya saja butuh biaya yang lebih besar, dan itu memberatkan bagi orang tua Atiah. Kesempatan sekolah benar-benar dimanfaatkan, hasilnya Atiah diterima di UNTIRTA lewat jalur SNMPTN atau jalur undangan dan mendapat beasiswa sejak semester pertama.
Covid-19 mengakibatkan banyak anak- anak putus sekolah, terutama anak-anak dan remaja perempuan. Pada akhir 2021, Atiah dan beberapa remaja lainnya dengan dukungan dari YAPPIKA-ActionAid melakukan penelitian di Desa Tamanjaya. Ada 2 topik yang diteliti, pertama tentang remaja perempuan putus sekolah yang bekerja ke kota dan pernikahan anak usia dini.
Dari hasil penelitian tersebut diketahui bahwa secara umum orang tua di desa Tamanjaya menginginkan pendidikan minimal sampai SMA untuk anak- anaknya, namun karena ekonomi yang lemah serta ketidakadaan biaya menyebabkan kebanyakan mereka putus sekolah. Sebenarnya pemerintah sudah membebaskan biaya pendidikan sampai tingkat SMA, hanya saja, SMA terdekat berada 18 km dari Desa Tamanjaya, sehingga biaya operasional sekolah dan akses transportasi yang sulit menjadi penyebab utama mengapa anak-anak Tamanjaya hanya bersekolah sampai tingkat SMP saja. Penyebab lain, karena pemahaman umum di masyarakat bahwa anak laki-laki lebih diprioritaskan karena akan menjadi kepala keluarga dan bertanggung jawab untuk keluarganya nanti.
Hasil penelitian kedua tentang pernikahan anak, disebabkan oleh kehamilan yang tidak diinginkan karena pergaulan muda-mudi yang lepas kendali, ironinya pernikahan usia dini malah meningkat karena alasan orang tua tidak mau anaknya melakukan zina.
Mengetahui hasil dari penelitian tersebut, Atiah bersama 14 remaja putri dari Desa Tamanjaya yang melakukan penelitian bersama, melakukan sosialisasi hasil penelitian dan penyuluhan ke sekolah- sekolah tentang kedua topik yang diteliti. Sebagai bentuk respon atas usaha remaja perempuan tersebut, sekolah tingkat SMP yang didatangi kemudian memfasilitasi para siswa membentuk wadah tempat mereka mendiskusikan permasalahan yang ditemukan, baik permasalahan di keluarga maupun permasalahan di sekolah.
Kini semua remaja yang terlibat penelitian tersebut, menjadi lebih terarah dan fokus dengan sekolah dan kegiatannya. Prestasinya meningkat dan menjadi kebanggaan keluarga. Karena kemampuan mereka berbicara dan memberikan penyuluhan, remaja-remaja ini selalu dilibatkan dalam berbagai aktifitas sekolah.
Selanjutnya, hasil penelitian tersebut juga disosialisasikan ketingkat pemerintahan desa, hasilnya bersama Forum Perempuan Desa Tamanjaya membuat aturan tentang perlindungan perempuan dan anak yang saat ini sudah ditetapkan menjadi Perkades (Peraturan Kepala Desa) dan sudah disahkan sampai tingkat Sekda (Sekretaris Daerah).
Dengan adanya aturan ini, maka seluruh kekerasan yang dilakukan pada perempuan dan anak dapat diperkarakan lewat jalur hukum yang jelas, dan pelaku bisa ditindak dan ada perlindungan hukum bagi korban.
Atiah merupakan remaja yang aktif menyuarakan pentingnya perlindungan atas hak perempuan dan anak di desanya. Keberanian ini didapatkan karena Atiah dan keluarganya pernah mendapatkan perlakuan semena-mena dari orang lain. Kejadian itu membuat Atiah bertekad, tidak ada lagi yang boleh merendahkan keluarganya dan orang-orang yang tidak mampu secara ekonomi.
“Ketidakmampuan bukan alasan mendapat perlakuan tidak adil. Setiap orang punya hak dan kewajibannya masing-masing. Hidup bermasyarakat akan lebih menyenangkan jika kita semua mengerti akan hal itu,” jelas Atiah.
Bagi Atiah, keterlibatan dalam forum Remaja Tamanjaya adalah sebuah pembuktian diri. Menjadi berguna dan memberikan manfat panjang bagi masyarakat adalah kesuksesan. Kebanggaan inilah yang selalu dibawa kemanapun Atiah pergi.
“Selalu menjadi diri sendiri dan beradaptasi tanpa kehilangan jati diri.” Menjadi pengingat untuk dirinya di mana pun dia berada. Karena keyakinan itulah yang membawa keberhasilan. Pada Mei 2022, Atiah mendapat kesempatan untuk berpartisipasi dalam forum GPDRR (Global Platform for Disaster Risk Reduction) sebuah forum multi pemangku kepentingan dua tahunan yang diinisiasi oleh PBB untuk meninjau kemajuan, berbagi pengetahuan dan mendiskusikan perkembangan dalam Penanggulangan Risiko Bencana (PRB).
Atiah berbagi cerita di Panggung Resiliensi Indonesia mengenai permasalahan remaja di wilayah rentan bencana, serta membawa surat Petisi Anak Sekolah yang ditujukan kepada presiden RI Joko Widodo yang isinya meminta perbaikan jalan ke kampung mereka.
Hasilnya, sudah ada perbaikan jalan menuju desa Tamanjaya, meski masih panjang jalan yang harus dibenahi. “Jika jalan ke desa kami udah benar, maka waktu tempuh ke SMA terdekat berkurang dari 1 jam 20 menit menjadi hanya 20 menit saja”, jelas Atiah.
Perbaikan jalan ini sangat penting untuk dipercepat karena mendesaknya kebutuhan untuk transportasi, tidak hanya bagi anak sekolah akan tetapi juga untuk mengangkat taraf ekonomi dan kesehatan warga Desa Tamanjaya.
“Selain perbaikan jalan, saya bersama remaja Tamanjaya juga harus memperjuangkan dibukanya fasiltas kesehatan seperti Puskesmas di desa kami, juga sekolah tingkat SMA. Jika semua ini terwujud, maka kesejahteraan bagi masyarakat Tamanjaya lebih mudah diperjuangakan karena fasilitas dan sarana pendukung yang memadai”.
Perjuangaan remaja perempuan di desa dekat dengan Ujungkulon ini akan terus berjalan. Langkah demi langkah akan dilalui Atiah yang tinggal di desa rentan bencana ini hingga akhinya dia siap melanjutkan pembuktian diri berikutnya.