Bu Mimin Sang Penyelamat

Diterbitkan pada | Selasa, 16 Agustus 2022


Nama lengkapnya Mimin Ranifah, kelahiran Ciburuluk Desa Cigorondong. Tinggal di Kampung Cimenteng Desa Tamanjaya sejak menikah dengan warga asli. Ikut suami katanya. Sejak tamat SMP Bu Mimin mencoba mengadu nasib ke kota, pernah kerja di restoran Korea, pabrik sepatu sampai jadi asisten rumah tangga. Saat kerja di kota itulah bu Mimin bertemu suami dan kemudian menikah.

Rumah Bu Mimin di Kampung Cimenteng berada di lingkungan yang sangat asri. Suara burung, gemericik air sungai kecil di depan rumah selalu mengiringi segala aktifitas. “Kalau situasinya normal, kita sehari-hari menyeberang di sini, tapi kalau hujan dan air sungai naik, kami harus memutar ke jembatan untuk menyeberang, lumayan jauh jalannya”, jelas Bu Mimin. 

Jembatan yang sederhana yang terbuat dari bambu itu pernah hancur karena tsunami. Bukan karena diterjang ombak, melainkan karena menahan beban orang-orang yang berusaha menyelamatkan diri. Karena lokasi rumahnya yang berada di daerah ketinggian, saat tsunami dulu, rumah ini jadi tempat pengungsian. 

“Saat itu lebih dari 10 keluarga mengungsi disini, semua tempat terisi, dari depan sampai belakang”. Papar bu Mimin lebih lanjut, mengenang bencana. Rumah panggung sederhana itu telah menyelamatkan banyak orang, memberi tempat berlindung.

Setelah Tsunami, dan berkenalan dengan program dari Pattiro Banten dan YAPPIKA-Action Aid, Bu Mimin menjadi dikenal luas di kalangan masyarakat Cimenteng dan Tamanjaya. Apalagi setelah aktif terlibat di Forum Perempuan Kampung Cimenteng mereka menamakan dirinya “Ibu-ibu Gaul”. Alasan beraktifitas di forum perempuan ini adalah karena Bu Mimin yakin sebagai perempuan harus punya usaha, harus berdaya untuk membantu perekonomian keluarga. Usaha pertama yang dirintis bersama Ibu-ibu Gaul adalah pembuatan emping melinjo, karena Kampung Cimenteng terdapat banyak pohon Melinjo. Seiring waktu usaha ini kemudian memproduksi makanan lain seperti tengteng, nasi cengkaruk yang diolah jadi Jipang dan sebagainya. Semenjak harga minyak goreng mahal, Bu Mimin dan forum Ibu-ibu Gaul kemudian mulai membuat minyak kelapa. Kelapa adalah salah satu komoditas utama daerah pinggir pantai. 


Usaha produksi minyak kelapa ini sangat membantu warga yang membutuhkan, karena menjadi alternatif pengganti saat minyak goreng kemasan naik harga.

Mengepalai forum perempuan adalah hal baru bagi Bu Mimin. Mungkin karena memiliki jiwa kepemimpinan dan membuat ibu-ibu lain nyaman berdiskusi dan jadi tempat mengadu. Selain mengepalai forum Ibu-ibu Gaul Kampung Cimenteng, Bu Mimin juga menangani dan mendampingi ibu-ibu yang mengalami KDRT. 

“Dulu perempuan sama sekali tidak dianggap, tidak punya hak menyuarakan ide dan pendapatnya. Tidak pernah ditanya keinginannya, tidak diajak diskusi, saat suami emosi, mudah saja mereka memukuli istrinya.” Kasus terakhir yang didampingi Bu Mimin adalah ibu ibu yang babak belur dipukuli suaminya, bahkan anaknya sendiri juga dipukuli sampai pingsan. Tidak ada tetangga dekat yang menolong korban, karena takut oleh perlakuan kasar pelaku dan juga tidak mau dianggap mencampuri urusan rumah tangga orang.

“Buat saya ini bukan masalah mencampuri urusan rumah tangga orang, ini kemanusiaan. Dan saat dikonfirmasi ke pelakunya dengan entengnya mengaku sedang kesurupan”  lanjut bu Mimin menjelaskan. Dari sana Bu Mimin kemudian mendampingi para penyintas KdRT menjadi tempat mengadu, dan memberikan perlindungan.

Awalnya suami Bu Mimin keberatan dengan aktifitas istrinya membantu dan mendampingi ibu-ibu penyintas KDRT, karena pernah ada pelaku yang marah, datang mengancam dengan membawa senjata tajam karena merasa kekerasan yang dilakukan kepada istrinya adalah persoalan rumah tangganya sendiri, tidak boleh ada orang luar yang mencampuri. Tapi sekarang karena Bu Mimin menjadi Focal Point dan salah satu pendamping kasus kekerasan dalam rumah tangga yang sudah diakui oleh pejabat desa, suami Bu Mimin mulai tenang dan mendukung penuh aktifitas istrinya. 

“Dulu kekerasan terhadap perempuan di kampung dianggap hal biasa, tidak ada yang berani masuk dan menangani penyintas dan pelaku. Sekarang semenjak ada sosialisasi bagaimana mendampingi penyintas yang mengalami kekerasan berbasis gender, kasus kekerasan mulai berkurang, karena ada prosedur yang jelas baik untuk melindungi penyintas dan menindak pelaku.” 

Sekarang ibu-ibu di Cimenteng punya kemampuan membela diri, memahami hak dan kewajibannya, tidak mau dianggap remeh dan pihak laki-laki juga tidak bisa berbuat semena-mena. Mereka dengan Forum Ibu-ibu Gaul juga makin berdaya, memiliki kekuatan ekonomi sehingga punya posisi tawar lebih tinggi ketika berhadapan dengan perilaku suami yang kerap main pukul dan kekerasan lainnya. Bu Mimin menjadi tempat perlindungan ibu-ibu. Bahkan kalau sedang bersitegang dengan isteri, jika Bu Mimin melintas, banyak yang segan dan tidak melanjutkan pertengkarannya. “Awas, ada Bu Mimin lewat, takut nanti dilaporkan,” 

Saat ini selain menjadi koordinator ibu-ibu dalam forum Ibu-Ibu Gaul bersama Bu RT, Bu Mimin juga menjadi pengajar di TK Mekar Mukti. Untuk mendukung profesi mengajarnya, Bu Mimin bertekad melanjutkan pendidikannya yang hanya sampai tingkat SMP. Sekarang Bu Mimin mengambil Kejar Paket C untuk mendapatkan ijazah SMA. “Tidak ada alasan untuk tidak sekolah, kalau dulu Cimenteng terkenal karena banyak anak putus sekolah disini, maka kedepannya Cimenteng harus dikenal sebagai kampung yang ibu-ibunya berdaya dan anak-anaknya bisa sekolah sampai lanjut.” 

Bu Mimin telah berubah menjadi perempuan pelopor anti kekerasan terhadap perempuan dan anak, menjadi pemuka masyarakat Cimenteng yang selalu dimintai pendapat untuk segala hal yang berkenaan dengan kampung, juga pelopor pendidikan dengan memberi contoh bahwa diumur berapapun, sekolah masih bisa dikejar. “Tidak ada alasan untuk tidak sekolah”.