Cerita Pergeseran Kekuasaan dan Agenda Pelokalan dalam Krisis Kemanusiaan dari Indonesia dan Palestina

Diterbitkan pada | Kamis, 16 Juni 2022

YAPPIKA-ActionAid (YAA) terlibat sebagai salah satu pengisi acara di Rumah Resiliensi Indonesia (RRI) pada 26 Mei 2022 di Gedung Art Bali, Area Bali Collection, Nusa Dua Bali. Di RRI ini, YAA membuat kegiatan Panggung Resiliensi dengan tema “Membangun Kekuatan Bersama: Pergeseran Kekuasaan dan Agenda Pelokalan dalam Krisis Kemanusiaan dari Indonesia dan Palestina” dengan dua pembicara utama yaitu Siti Atiah (Tim Peneliti yang Dipimpin Remaja Perempuan, Pandeglang) dan Ibrahim Ibraigheth (Direktur ActionAid Palestina). Host dari kegiatan ini adalah Richa Syapitri (Staf Program Aksi Kemanusiaan dan Resiliensi YAA). Kegiatan ini bertujuan untuk berbagi dan bertukar pembelajaran dalam konteks aksi kemanusiaan dari Indonesia dan Palestina, serta aksi Pengurangan Risiko Bencana (PRB) di akar rumput yang dipimpin oleh perempuan dan anak muda. 


Petisi untuk Presiden Indonesia dari Remaja Desa Tamanjaya 

Pada awal kegiatan, Atiah menjelaskan mengenai kondisi desanya yang terkena dampak tsunami Selat Sunda pada 2018, Desa Tamanjaya di Kecamatan Sumur, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten. Di Desa Tamanjaya, tidak terdapat SMA dan hanya terdapat 3 TK, 3 SD, 1 Madrasah Ibtidaiyah, 1 SMP, dan 1 Madrasah Tsanawiyah. SMA terdekat dari Desa Tamanjaya terletak di kecamatan yang berjarak sekitar 20 km dan ditempuh dengan waktu kurang lebih 45 – 60 menit. Sebelum tsunami pun, jalan di Desa Tamanjaya rusak dan belum juga diperbaiki hingga saat ini. Hal ini membuat anak dan remaja di desanya kesulitan untuk mengakses pendidikan, khususnya SMA, dan pelayanan kesehatan. Transportasi umum menuju kecamatan juga sangat terbatas dan hanya tersedia pada pukul 5 pagi. Atiah menjelaskan bahwa jika remaja di desanya ingin melanjutkan sekolah ke SMA, banyak orang tua yang memilih menyekolahkan anaknya di pondok pesantren yang terletak di kecamatan lain. “Alasannya dua hal. Pertama, lebih aman dan tidak perlu bolak-balik dari rumah ke sekolah setiap hari karena jalan yang rusak dan transportasi umum yang terbatas. Kedua, biaya akan lebih murah, baik untuk transportasi dan akomodasi”, jelas Atiah.



Setelah itu, Atiah menjelaskan mengenai kondisi remaja perempuan di Desa Tamanjaya. Banyak remaja perempuan di desanya kesulitan untuk melanjutkan pendidikan karena kurangnya keuangan. Norma sosial di masyarakat juga masih menganggap anak laki-laki lebih diutamakan untuk memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi karena dianggap lebih penting sebagai bekal menjadi kepala keluarga dan pencari nafkah utama keluarga. Hal ini membuat anak perempuan kurang mendapat dukungan dan perhatian dalam hal pendidikan, terutama pada saat krisis pandemi COVID-19. Atiah juga menjelaskan, “Dalam kondisi pandemi sekitar dua tahun terakhir, banyak teman saya yang juga anak perempuan di Desa Tamanjaya telah putus sekolah dan mulai bekerja di kota sebagai pekerja rumah tangga, seperti di Serang, Tangerang, dan Jakarta”. Hal ini karena banyak keluarga yang mengalami keterpurukan kondisi keuangan. Putus sekolah meningkatkan kerentanan dan risiko bagi remaja perempuan menjadi pekerja anak, terutama karena bekerja di sektor informal dan minimnya perlindungan hukum.