Diterbitkan pada | Senin, 03 Agustus 2020
Pada 1 Februari 2019, Koalisi Kebebasan Berserikat (KKB) melakukan media roadshow ke Redaksi The Jakarta Post di Kantor The Jakarta Post. Terdapat dua tujuan dari media roadshow yang dilakukan oleh KKB, yaitu 1) Penyampaian hasil temuan KKB terkait lima tahun implementasi UU Ormas dan 2) Penyerahan produk pengetahuan yang telah dihasilkan KKB terkait UU Ormas. Media roadshow ini diterima oleh Evi Mariani, selaku Managing Editor The Jakarta Post, dan beberapa jurnalis dari The Jakarta Post. Dalam media roadshow ini, KKB diwakili oleh Riza Imaduddin Abdali (YAPPIKA-ActionAid), Muhammad Ananto Setiawan (YAPPIKA-ActionAid), Ronald Rofiandri (PSHK), dan Evitarossi Budiawan (Imparsial)
Dalam paparannya, Riza menjelaskan “Hasil pemantauan Koalisi Kebebasan Berserikat menunjukkan bahwa tindakan terbanyak dari lima tahun implementasi UU Ormas sejak 2013 hingga 2018 adalah kewajiban mendaftar dengan 299 tindakan atau sebesar 31%.” Kewajiban mendaftar merujuk pada organisasi masyarakat sipil (OMS) yang diwajibkan untuk mendaftarkan diri ke Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) atau Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Provinsi dan Kabupaten/Kota guna mendapatkan Surat Keterangan Terdaftar (SKT). Riza juga menjelaskan, “Hasil pemantauan KKB juga menunjukkan bahwa pelaku terbanyak dari implementasi UU Ormas adalah pemerintah kabupaten/kota, khususnya Kesbangpol Kabupaten/Kota.”. Riza pun menambahkan bahwa terdapat dampak bagi eksistensi OMS ketika OMS tidak memiliki SKT, antara lain 1) diberikan stigma sebagai organisasi ilegal/liar, 2) pembatasan akses ke sumber daya, 3) pelarangan aktivitas, 4) pembubaran atau pencabutan izin organisasi, dan 5) kriminalisasi terhadap anggota atau simpatisan OMS.
Dalam media roadshow ini, KKB memberikan dua rekomendasi terkait permasalahan implementasi UU Ormas, yaitu 1) Mendorong Pemerintah dan DPR RI untuk segera mengesahkan RUU Perkumpulan sebagai kerangka hukum yang benar dalam pengaturan OMS dan 2) Mendorong DPR RI untuk segera merevisi UU Ormas dengan menitikberatkan pada pasal-pasal yang berkaitan dengan SKT agar sejalan dengan Putusan MK, definisi asas Pancasila, larangan dan sanksi bagi ormas, dan ketentuan pidana. Riza menjelaskan bahwa dalam negara yang menganut civil law, hanya dikenal dua pengaturan organisasi sosial, yaitu organisasi berbasis anggota (membership organization) dan organisasi berbasis non-anggota (non-membership organization). Di Indonesia, hal tersebut diterjemahkan dalam perkumpulan sebagai organisasi berbasis anggota dan yayasan sebagai organisasi berbasis non-anggota. Pengaturan Yayasan diatur dalam UU Yayasan, sedangkan perkumpulan masih diatur dalam Staatsblad 1870 Nomor 64, produk hukum zaman Hindia Belanda. “Karena perkumpulan masih diatur dalam produk hukum Hindia Belanda dan sudah ketinggalan zaman, kita perlu mendorong pemerintah dan DPR RI untuk segera mengesahkan RUU Perkumpulan sebagai kerangka hukum yang tepat, dibandingkan UU Ormas”, jelas Riza
Riza pun menjelaskan bahwa dalam jangka pendek, KKB juga mendorong DPR RI untuk merevisi UU Ormas yang telah masuk Prolegnas Prioritas 2019. Dalam revisi UU Ormas, Koalisi Masyarakat Sipil Tolak Perppu Ormas setidaknya mengidentifikasi 8 permasalahan, yaitu 1) Pendaftaran ormas, 2) Struktur dan ruang lingkup ormas, 3) Pemberdayaan ormas, 4) pengendalian dan pengawasan ormas, 5) larangan-larangan bagi ormas, 6) sanksi bagi ormas yang melanggar, 7) pembubaran dan prosedur pembubaran ormas, dan 8) pemberian sanksi pidana bagi ormas. Dalam media roadshow ini, Ronald (PSHK) mendorong agar The Jakarta Post dapat memahami permasalahan UU Ormas secara utuh sehingga dapat memberikan edukasi kepada publik terkait permasalahan sesungguhnya dari implementasi UU Ormas.