Komnas HAM Bekerja Sama dengan Koalisi Kebebasan Berserikat (KKB) Menyusun Standar Norma dan Setting Kebebasan Berkumpul dan Berorganisasi

Diterbitkan pada | Senin, 03 Agustus 2020

Pada 9 April 2019, Komnas HAM menyelenggarakan Focus Grorup Discussion “Penyusunan Standar Norma dan Setting Kebebasan Berkumpul dan Berorganisasi” di Kantor Komnas HAM. Penyusunan standar norma dan setting kebebasan berkumpul dan berorganisasi yang sedang disusun oleh Komnas HAM merupakan dorongan dan rekomendasi atas berbagai temuan KKB terhadap implementasi UU Ormas. Kegiatan FGD ini dilaksanakan dalam dua sesi, yaitu Sesi Pertama (FGD dengan peserta yang dihadiri oleh kementerian/lembaga dan organisasi perangkat daerah) dan Sesi Kedua (FGD dengan peserta yang dihadiri oleh organisasi masyarakat sipil). FGD ini dibuka oleh Choirul Anam (Komisioner Bidang Pengkajian dan Penelitian Komnas HAM dan Ketua Tim Penyusun). Selain itu, pemantik diskusi dalam FGD ini adalah Riza Imaduddin Abdali (Program Officer YAA/Anggota Tim Penyusun) yang difasilitasi oleh Wahyudi Djafar (Deputi Direktur Riset ELSAM/Angota Tim Penyusun) pada sesi pertama dan Mirza Satria Buana (Dosen dan Peneliti FH Universitas Lambung Mangkurat/Anggota Tim Penyusun) pada sesi kedua.


FGD ini memiliki tiga tujuan penting, yaitu 1) Menggali permasalahan-permasalahan yang muncul dalam implementasi hak atas kebebasan berkumpul dan berorganisasi di Indonesia, khususnya dalam ranah pengaturan hak tersebut oleh pemerintah dan bagi OMS; 2) Menemukan tema-tema penting yang mampu mendukung jaminan penikmatan hak atas kebebasan berkumpul dan berorganisasi dalam berbagai sektor dan/atau kelompok masyarakat; dan 3) Menemukan gambaran terkini dinamika operasionalisasi hak atas kebebasan berkumpul dan berorganisasi dalam berbagai aspek sosial, politik, dan budaya. Selain itu, hasil yang diharapkan dalam FGD ini adalah adanya masukan strategis bagi Komnas HAM dalam perumusan standar norma dan setting kebebasan atas berkumpul dan berorganisasi dari pihak kementerian/lembaga, OPD, dan OMS.


Dalam pembukaannya, Anam menjelaskan bahwa penyusunan standar norma dan setting merupakan salah satu fungsi dari Komnas HAM untuk mengembangkan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan HAM sesuai dengan Pancasila, UUD 1945, dan Piagam PBB serta DUHAM melalui pengkajian dan penelitian. Lebih lanjut, Anam menjelaskan bahwa setidaknya terdapat tiga tujuan dari penyusunan standar norma dan setting kebebasan berkumpul dan berorganisasi ini. Pertama, memberikan pedoman kepada aparat negara untuk dapat memastikan tidak adanya kebijakan dan tindakan pelanggaran kebebasan berkumpul dan berorganisasi sejak dari perencanaan, pengaturan, dan pelaksanaan. Selain itu, untuk memastikan proses hukum dan pemberian sanksi bagi pelaku atas setiap tindakan pelanggaran kebebasan berkumpul dan berorganisasi yang terjadi. Kedua, memberikan pedoman bagi individu, termasuk di dalamnya adalah kelompok masyarakat, seperti partai politik, organisasi masyarakat sipil, serikat buruh, organisasi keagamaan, organisasi kepemudaan, dan kelompok sosial lain, agar memahami segala hal terkait tindakan pelanggaran kebebasan berkumpul dan berorganisasi sehingga dapat memastikan hak asasinya terlindungi. Selain itu, agar tidak melakukan tindakan atau perbuatan yang diskriminatif yang dapat memperkecil ruang masyarakat sipil dalam proses pembangunan. Ketiga, memberikan pedoman bagi pihak swasta agar menghormati hak-hak masyarakat dengan cara menghindari perlakuan yang membatasi kebebasan berkumpul dan berorganisasi.

Dalam paparannya, Riza menjelaskan bahwa, “Semakin banyak tindakan represif dari pemerintah yang berakibat pada ancaman serius terhadap penikmatan hak atas kebebasan berkumpul secara damai dan berserikat di Indonesia”. Hal ini dibuktikan dari tiga hal. Pertama, temuan KKB pada 2018 menunjukkan bahwa semakin menyempitnya ruang masyarakat sipil akibat dampak implementasi UU Ormas yang bertentangan dengan prinsip-prinsip kebebasan berserikat. Kedua, meskipun IDI naik pada tahun 2017, terdapat variabel yang mengalami penurunan. Salah satu variabel yang mengalami penurunan adalah kebebasan berkumpul dan berserikat. Ketiga, menurut penilaian Freedom House Index tahun 2018, status kebebasan (diukur dari hak-hak politik dan kebebasan sipil) Indonesia turun dari Free menjadi Partly Free sejak 2014 hingga 2018, termasuk di dalamnya kebebasan berkumpul dan berserikat.

Riza juga menjelaskan bahwa terdapat 4 prinsip dalam kebebasan berkumpul secara damai, yaitu 1) Hak untuk mengadakan dan berpartisipasi dalam pertemuan secara damai, 2) Hak untuk dilindungi dari gangguan yang tidak semestinya, 3) Perlindungan terhadap pertemuan yang dilakukan secara damai, dan 4) Hak atas pemulihan yang memadai akibat pelanggaran hal. Dalam kebebasan berserikat itu sendiri, terdapat 6 prinsip, yaitu 1) Hak untuk membentuk dan bergabung dalam perserikatan/perkumpulan/organisasi, 2) Hak untuk beroperasi dan dilindungi dari gangguan yang tidak semestinya, 3) Hak untuk mengakses pendanaan dan sumber daya lain, 4) Hak untuk menjadi bagian dalam urusan-urusan publik, 5) Mekanisme pencabutan, penangguhan, dan pembubaran organisasi, serta 6) Hak atas pemulihan yang memadai akibat pelanggaran hak.

Dari kedua sesi tersebut, terdapat beberapa masukan penting yang dapat dijadikan substansi penyusunan standar norma dan setting kebebasan berkumpul dan berorganisasi dari berbagai pihak. Beberapa masukan penting yang dimaksud adalah 1) mengenai konsep ketertiban dan keamanan dalam konteks kebebasan berkumpul, 2) mekanisme pengadministrasian kebebasan berorganisasi, 3) mekanisme pencabutan, penangguhan, dan pembubaran organisasi, 4) kebebasan berkumpul dan berorganisasi bagi kelompok minoritas, 5) hak untuk tidak berorganisasi, 6) hak pekerja dalam berorganisasi, 7) dan lain-lain.

Tag :

individu