Diterbitkan pada Jumat, 17 Februari 2023
Jember-Upaya pemerintah daerah menekan angka kematian ibu dan bayi (AKI-AKB), pernikahan dini dan stunting, menghadapi tantangan serius. Karena hal itu menjadi mata rantai yang saling terkait. Penyelesaiannya pun tak bisa berjalan sendiri-sendiri. Harus holistis dengan melibatkan multisektor. Dari tingkat kabupaten sampai desa.
Pendapat semacam itu mengemuka dalam diskusi yang digagas Yayasan Prakarsa Swadaya Masyarakat (YPSM) Jember, Kamis (16/2). Pertemuan yang dihadiri berbagai unsur dari pemerintah tingkat kabupaten hingga desa, serta pemerhati kesehatan ibu dan anak itu, merumuskan strategi peningkatan kesehatan ibu hamil untuk mencegah kematian ibu dan bayi (AKI-AKB) di Jember.
Jika melihat angka, jumlah AKI-AKB di Jember cukup tinggi. Data Bidang Kesehatan Masyarakat Dinkes Jember mencatat, pada 2022 jumlah AKI sebanyak 58 kasus. Angka itu menurun jika dibanding tahun sebelumnya 115 kasus (2021) dan 61 kasus (2020). Sedangkan AKB tercatat 287 kasus (2022), 357 kasus (2021) dan 324 kasus (2020). Meski jumlahnya menurun, tapi angka itu masih tetap mengkhawatirkan.
Kasus stunting juga tak jauh berbeda. Angkanya masih membikin publik mengelus dada. Data Dinkes Jember mencatat, pada 2022 jumlah stunting ada 12 ribu kasus dari 173.043 balita. Jumlah ini setara 7,37 persen. Sedangkan berdasarkan survei SSGI Kemenkes RI, jumlah stunting di Jember mencapai 34,9 persen, atau setara 35 ribu balita.
Melihat tingginya kasus tersebut, pemerintah daerah harus bekerja ekstra dan membikin program yang tersinkronisasi. Baik antardinas maupun antarjenjang pemerintahan. Di sisi lain, pemerintah juga perlu mencari solusi atas masalah lain. Seperti ketersediaan sumber daya tenaga kesehatan, pemahaman dan kesadaran masyarakat, ketersediaan sarana prasarana, serta merumuskan program intervensi yang tepat sasaran.
Plt Kepala Dinkes Jember dr Koeshar Yudyarto menuturkan, sebenarnya untuk ketersediaan jumlah tenaga kesehatan, seperti dokter di puskesmas, sudah mencukupi. Hanya saja, peralatan yang menunjang pemeriksaan ibu hamil semisal USG, belum semua puskesmas memilikinya. Dari sekitar 50 puskesmas yang ada, baru separuh atau 25 puskesmas yang punya fasilitas USG. Sisanya belum. “Rencananya akan ada 25 puskesmas lagi yang melakukan pengadaan USG tahun ini,” terangnya.
USG atau Ultrasonografi adalah prosedur pengambilan gambar dari bagian tubuh tertentu. Ini dilakukan dengan memanfaatkan gelombang suara frekuensi tinggi. Prosedur ini dapat menunjang ketepatan dalam mendiagnosis. Termasuk pada ibu hamil.
“Idealnya, ibu hamil itu memeriksakan diri lebih dari empat kali selama masa kehamilan. Ini untuk melihat perkembangan kesehatan ibu dan janinnya,” imbuhnya. Jika menggunakan prosedur USG, pemeriksaan yang dilakukan bisa lebih akurat. Sehingga dapat mencegah risiko kematian ibu dan bayi sedari dini.
Soal pemahaman dan kesadaran masyarakat, Koeshar mengakui menjadi tantangan tersendiri. Karena di Jember masih ada saja kasus ibu melahirkan di luar fasilitas kesehatan. Dalam persalinannya, mereka menggunakan jasa dukun bayi. “Ada kasus di Gumukmas. Persalinannya memakai dukun bayi asal Puger. Sehingga terkena infeksi,” ungkapnya.
Cegah dari Hulu
Tak hanya penanganan persalinan dan pemeriksaan pada ibu hamil, pencegahan AKI-AKB juga bisa dilakukan sejak dari hulu. Dengan memenuhi nutrisi sedari awal dengan melibatkan masyarakat. Hal inilah yang seringkali luput dari jangkauan pemerintah. Karena biasanya, pemerintah berhenti pada program pemberian makanan tambahan (PMT). Tidak sampai menggagas gerakan pemenuhan nutrisi berbasis keluarga dan komunitas.
Doni Wijayanto, Koordinator Program Mutiara di Jember, memaparkan, pencegahan dan penanganan kasus AKI-AKB memang harus holistis dan berkesinambungan, sejak dari hulu. Seperti yang dijalankan lembaganya. Mulai dari penguatan deteksi dini kehamilan berisiko, intervensi nutrisi untuk ibu hamil dan baduta, intervensi nutrisi berbasis keluarga dan komunitas, serta kegiatan remaja mutiara.
Diketahui, Pogram Mutiara merupakan akronim Meningkatkan Nutrisi dan Akses Kesehatan bagi Ibu Anak dan Remaja. Program ini dijalankan bersama YPSM Jember yang didukung sejumlah lembaga donor. Sasarannya ada di empat wilayah puskesmas. Puskesmas Silo 2, Kaliwates, Rambipuji dan Puskesmas Sumbersari. Program itu juga melibatkan pemerintah desa dan kader posyandu.
Dari keempat program tersebut, intervensi nutrisi berbasis keluarga dan komunitas sepertinya perlu direplikasi oleh pemerintah daerah dengan menerapkannya ke desa-desa lain di Jember. Sebab, program yang digagas itu dapat menumbuhkan kesadaran, sekaligus upaya bagi keluarga dan masyarakat dalam memenuhi nutrisi bagi ibu hamil secara mandiri. Muaranya, tentu saja mengurangi AKI-AKB dan stunting.
“Kami membikin kebun gizi yang menjangkau 62 keluarga ibu hamil dan 68 keluarga baduta. Kebun gizi ini dikelola dengan model komunal di enam desa di Jember oleh kader dan warga,” terangnya.
Sayuran yang ditanam pun bermacam-macam. Ada bayam, sawi, kangkung, terong, selada, kacang panjang, cabai dan tomat. Sedangkan sebagai sumber protein mereka membudidayakan lele, ayam dan belut. Warga memanfaatkan pekarangan, ember dan timba sebagai media tanam dan budidaya ikan. “Kendala tentu saja ada. Tapi kami terus melakukan evaluasi,” paparnya.
Peran Pemerintah Desa
Sebagai unsur pemerintah di tingkat paling bawah, desa juga berperan penting dalam penanganan AKI-AKB dan stunting. Termasuk mencegah terjadinya nikah di bawah umur. Karena pemerintah desa lah yang bersentuhan langsung dengan masyarakat. Terlebih saat ini, desa juga memiliki anggaran dari dana desa (DD) yang bisa dialokasikan untuk program tersebut.
Kabid Pengelolaan Keuangan dan Aset Desa Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa (DPMD) Jember Abdul Gofur menjelaskan, pemerintah desa melalui kepala desa, berperan penting mewujudkan desa bebas AKI-AKB dan stunting. Karena mereka bisa mengalokasikan anggaran yang digunakan untuk program konvergensi stunting. Program ini tak hanya fokus pada masalah stunting, tapi juga hal-hal yang terkait dengannya. Seperti pendewasaan usia nikah dan pencegahan AKI-AKB. “Dalam penyaluran DD, desa wajib melaporkan kegiatan konvergensi stunting. Dan seluruh desa mempunyai anggaran untuk itu,” sebutnya.
Berdasarkan data yang dimiliki DPMD Jember, selama tiga tahun belakangan anggaran yang dialokasikan untuk program itu hanya tiga persen dari total alokasi DD di kabupaten setempat. Pada 2020 total ada Rp 6 miliar, 2021 sebanyak Rp 10 miliar dari total alokasi DD 315 miliar, sedangkan 2022 belum ada laporan lengkapnya. “Untuk jumlah desanya ada 226 desa,” tukasnya.
Hanya saja, apa yang dilakukan oleh pemerintah desa ini belum terkoneksi dengan program serupa yang dijalankan oleh pemerintah di atasnya. Tim Ahli Pendamping Desa (TAPD) Jember Dodik Merdiawan menyebut, ada dua problem utama yang dihadapi desa dalam program tersebut. Sinkronisasi dan validitas data, serta harmonisasi program yang dinilainya belum berjalan beriringan dan berkesinambungan dengan pemerintah di atasnya.
Padahal, kata dia, dua hal itu menjadi masalah fundamental yang harus dituntaskan lebih dulu, sebelum merambah ke pelaksanaan program penanganan. “Harusnya ada big data. Karena data itu sifatnya dinamis. Sehingga bupati bisa menurunkan SK tentang data sasaran program. Berapa sih jumlah stunting dan ibu hamil. Jadi jelas. Siapa melakukan apa?” urainya.
Saat ini, desa telah memiliki payung hukum untuk menjalankan program itu. Permendes Nomor 8 Tahun 2022 tentang Prioritas Penggunaan DD. Ada tiga prioritas yang telah ditetapkan dalam beleid itu. Pemulihan ekonomi, prioritas nasional dan mitigasi bencana alam. “Penurunan stunting, yang di dalamnya juga ada AKI-AKB dan pernikahan dini, masuk dalam prioritas nasional,” paparnya.
Menurutnya, desa juga telah memiliki Kader Pembangunan Masyarakat (KPM). Mereka berasal dari warga setempat. KPM bertugas melakukan pendataan sasaran dan pelayanan. Hasilnya dibawa ke Rumah Desa Sehat (RDS). Lembaga ini berisi gabungan dari berbagai unsur masyarakat yang peduli pendidikan dan kesehatan.
“Selanjutnya, dilakukan rembug stunting yang kemudian diintegrasikan dengan perencanaan pembangunan desa. Kalau sudah masuk rencana kerja pemerintah desa atau RKP. Jika sudah masuk RKP, desa wajib menjalankan,” jelasnya.
Hanya saja, Dodik menambahkan, kekuatan anggaran desa terbatas. Sehingga tidak semua hal yang disepakati dalam rembug stunting itu masuk ke dalam RKP desa. Bila anggaran maupun sumber daya di desa tidak mampu, maka program itu dibawa ke tingkat kabupaten melalui musyawarah rencana pembangunan (musrenbang) kecamatan. “Nah, inilah yang perlu adanya sinkronisasi dan harmonisasi. Dan ini yang menurut saya saat ini belum berjalan optimal,” pungkasnya. (*)
Artikel dan foto ini telah tebit di https://radarjember.jawapos.com/berita-jember/16/02/2023/rumus-penanganan-aki-akb-plus-stunting-di-jember-holistis-dan-multisektor/ pada tanggal 16 Februari 2023