SD Roboh Kembali Memakan Korban, Pemerintah Harus Memberikan Respons Sistemik

Diterbitkan pada | Selasa, 04 Agustus 2020

Jakarta – Pada Kamis (2/6/2016), SDN Turitempel 2 di Kabupaten Demak, Jawa Tengah yang cukup lama dibiarkan dalam kondisi rusak akhirnya roboh. Lima belas (15) siswa menjadi korban, 3 di antaranya mengalami luka serius di bagian kepala yang menyebabkan mereka sempat pingsan. Kasus ini bukanlah yang pertama. Berdasarkan pemantauan YAPPIKA, sepanjang tahun 2014-2016, terdapat 93 kasus SD rusak yang memakan 54 korban luka dan 1 korban jiwa. Oleh karena itu, pemerintah pusat dan pemerintah daerah perlu segera mengambil tindakan untuk mengatasi persoalan ini secara sistemik. Alokasi anggaran untuk rehabilitasi SD rusak harus ditingkatkan.

Contoh kasus lainnya, pada Februari 2016, SDN Kalibaru di Depok, Jawa Barat juga roboh dan menyebabkan 4 korban luka. Ke depan, bukan tidak mungkin SD yang sekarang dalam kondisi rusak akan roboh dan kembali memakan korban. Sembilan puluh tiga (93) kasus SD rusak yang ditemukan oleh YAPPIKA melalui pemantauan terhadap pemberitaan media online hanyalah puncak gunung es dari persoalan SD rusak di Indonesia. Berdasarkan data resmi dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) tahun 2016, terdapat total 183.239 ruang kelas SD yang berada dalam kondisi rusak dengan rincian 69.841 ruang kelas SD mengalami rusak sedang, 57.222 ruang kelas SD mengalami rusak berat, dan 56.176 ruang kelas SD mengalami rusak total.

Namun, tren alokasi anggaran dalam ABPN untuk rehabilitasi SD justru cenderung menurun. Alokasi anggaran untuk rehabilitasi ruang kelas SD sempat naik dari 0,23% dari APBN 2013 menjadi 0,24% dalam APBN 2014, kemudian terus menurun menjadi hanya 0,21% dalam APBN 2015 dan 0,15% dalam APBN 2016. Berdasarkan tren realisasi rehabilitasi SD pada tahun 2013-2015, diprediksi butuh waktu 20 tahun untuk merehabilitasi seluruh SD yang rusak tersebut. Tentu dengan asumsi tidak ada penambahan jumlah SD rusak. Artinya, ada persoalan ketidakcukupan anggaran yang akan membuat keselamatan anak-anak terus terancam setiap harinya.

Hasil pemantauan YAPPIKA pun menunjukkan bahwa 53% kasus SD rusak tidak direspons oleh Pemda. Kalaupun memberikan respons, biasanya hanya bersifat reaktif seperti rencana rehabilitasi SD yang rusak atau roboh setelah ramai diberitakan oleh media massa. Artinya, belum ada political will yang kuat dari Pemda untuk menyelesaikan persoalan SD rusak ini secara sistemik. Dugaan ini pun didukung pada fakta masih banyaknya Pemda yang belummengalokasikan 20% dari dana APBD untuk anggaran pendidikan.

Oleh karena itu, YAPPIKA mendukung inisiatif Kemendikbud untuk bersama Pemda melakukan audit fisik bangunan sekolah dan membuka hasilnya kepada publik secara transparan dan mudah diakses. Audit tersebut diharapkan dapat menghasilkan peta kualitas bangunan sekolah dan

kebutuhan rehabilitasi yang lebih komprehensif. Dengan bekal peta tersebut, publik akan lebih mudah mendorong pemerintah di daerahnya masing-masing untuk mengalokasikan anggaran yang cukup untuk pendidikan, khususnya rehabilitasi SD rusak yang mengancam keselamatan jutaan anak.

Tag :