UU Ormas: Penyempitan Ruang Gerak Organisasi Masyarakat Sipil di Indonesia

Diterbitkan pada | Senin, 22 November 2021

Hai Sahabat, sudah tahu tentang UU Ormas? Mengapa implementasi UU Ormas bisa mempersempit kebebasan berkumpul dan berorganisasi? Mari kita telaah bersama!

Sekitar awal Oktober 2021, Maria Anik Tunjung (Direktur Program CO-EVOLVE, Yayasan Penabulu) mendapatkan terusan berita melalui aplikasi pesannya berjudul Jangan Ormaskan OMS Indonesia yang ditulis oleh Eryanto Nugroho (Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia). “Ketika membaca itu, kita punya keresahan yang sama, bagaimana posisi Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) di Indonesia?” ungkap Maria Anik Tunjung.

Temuan Koalisi Kebebasan Berserikat (KKB) memperlihatkan bahwa jenis tindakan terbesar dari implementasi UU Ormas (UU 17/2013) adalah mewajibkan organisasi non-pemerintah untuk mendaftar ke pemerintah dan tunduk untuk melaporkan kegiatan mereka secara rutin. Pemerintah pun mengeluarkan Perppu Ormas (Perppu 2/2017 yang telah disahkan menjadi UU 16/2017) yang menghapuskan proses peradilan dalam pembubaran organisasi non-pemerintah. Bayangkan, dibubarkan tanpa ada proses di forum peradilan untuk menyelesaikan perselisihan dan pencarian keadilan.

Interpretasi tentang kepemilikan Surat Keterangan Terdaftar (SKT) semakin melebar sebagai bentuk keabsahan  berbagai jenis kelompok masyarakat untuk diakui pemerintah, termasuk bagi kelompok penghayat kepercayaan, minoritas agama, hingga masyarakat adat.  Praktiknya, pemerintah masih menjadikan pendaftaran atau registrasi organisasi sebagai bentuk pengakuan dan keabsahan.

Fransiska Fitri, Direktur Eksekutif YAPPIKA-ActionAid, menjelaskan mengenai hasil monitoring dan evaluasi implementasi kebebasan berkumpul dan berorganisasi yang dilakukan oleh KKB yang terdiri atas YAPPIKA-ActionAid, PSHK, ELSAM, LBH Jakarta, Imparsial, SEPAHAM. Pada periode 2019 - 2020, KKB menemukan sekitar 90 peristiwa pelanggaran yang dikategorikan dengan instrumen hukum dan hak asasi manusia, tercatat yang tertinggi adalah peristiwa kewajiban mendaftar sekitar 43 tindakan, kemudian disusul dengan stigmatisasi OMS sebanyak 19 tindakan.

 "Polanya ketika ada imbauan untuk mendaftar ke Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) dan tidak ada SKT, maka akan dianggap liar atau ilegal, padahal organisasi sudah berbadan hukum,” jelas Fransiska.  Organisasi yang tidak terdaftar akan mendapat stigma sebagai organisasi ilegal atau liar, mengalami hambatan dalam menjalankan kegiatan, dibatasi akses terhadap sumber daya negara, kriminalisasi terhadap anggota atau simpatisannya, hingga pencabutan izin atau pembubaran organisasi tersebut.

Tindakan pelarangan aktivitas terjadi pada September 2019, peristiwa ini dialami Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI),  gugatan praperadilan oleh MAKI untuk melanjutkan penyelidikan Bank Century ditolak Pengadilan Negeri Selatan karena SKT-nya kadaluwarsa.

 

Dalam konteks kebebasan berkumpul, temuan KKB juga memperlihatkan penafsiran atas UU Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum sering kali melanggar hak atas kebebasan berkumpul dan memiliki potensi keberulangan. Situasi ini terjadi karena pihak kepolisian menjadikan pemberitahuan di muka sebagai bentuk perizinan kegiatan. Hal ini menjadikan pihak kepolisian masih sering menolak menerbitkan tanda terima pemberitahuan kepada pengunjuk rasa dengan alasan bahwa aksi tersebut melanggar ketertiban umum. Bahkan, pihak kepolisian juga dapat membubarkan acara berkumpul, seperti acara diskusi, pemutaran film, dan demonstrasi, dengan alasan tidak menyampaikan pemberitahuan, tidak memiliki izin keramaian, atau bakal mengganggu ketertiban umum.

Misalnya bulan September 2017, polisi secara sewenang-wenang membubarkan satu acara yang di adakan YLBHI di Jakarta. Kamu bisa baca di sini https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-41290897

Pada UU Ormas, definisi Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) dan Ormas dicampuradukkan, padahal lingkup OMS jauh lebih luas jenis dan ragamnya. Sedangkan di sisi lain OMS sering disebut sebagai salah satu pilar demokrasi, penyeimbang sektor negara dan swasta. Sudah terjadi di depan mata, bahwa UU Ormas ini mempersempit hak atas kebebasan berserikat dan berorganisasi.

 

Perbedaan OMS dan Ormas

“Pada saat ini, ada salah kaprah dan potensi salah arah kebijakan untuk memadankan OMS dan Ormas, seolah-olah OMS adalah Ormas, padahal tidak sama. Pembahasan civil society sudah ada sejak zaman Aristoteles, sedangkan Ormas ini term sejak Orde Baru. Ormas bukan badan hukum, dia hanya status terdaftar, semacam stempel politik yang dibuat Orde Baru tahun 1980,”  jelas Eryanto Nugroho.

Selanjutnya Eryanto menjelaskan kepanjangan ormas bukanlah organisasi massa, ”Terjemahan Bahasa Inggris Ormas bukanlah Mass-Based Organization, terjemahan Bahasa Inggris Ormas bukanlah Civil Society Organization (CSO).” Mengutip ciri-ciri entitas yang ada dalam sektor masyarakat sipil dari Salamon, Sokolowski, dan List (2003), yaitu memiliki struktur dan keteraturan dalam beroperasi (baik formal dan informal), bukan bagian dari negara, nirlaba, ada mekanisme tata kelola internal yang mandiri, keterlibatan ataupun keanggotaan dalam berorganisasi bersifat sukarela bukan karena suatu kewajiban.

Dalam kerangka hukum Indonesia, Organisasi Masyarakat Sipil telah dijamin dalam konstitusi Pasal 28 UU 1945 dan Pasal 28 E (3) UUD 1945. Organisasi Masyarakat Sipil bisa dibedakan berdasarkan keanggotaannya, OMS tidak berdasarkan keanggotaan disebut Yayasan (telah dijelaskan dalam konstitusi melalui UU No. 16/2001 dan UU No.28/2004, sedangkan OMS berdasarkan keanggotaan disebut Perkumpulan.

Perkumpulan sendiri bisa berbadan hukum dan tidak berbadan hukum. Kemudian karena tekanan politik, muncullah UU Ormas yang merancukan kerangka hukum sebelumnya, yaitu Yayasan dan Perkumpulan.  Kerancuan  UU Ormas ini menyebutkan "Ormas dapat berbentuk badan hukum atau tidak berbadan hukum", "Ormas dapat berbasis anggota/tidak berbasis anggota". "Ormas berbadan hukum dapat berbentuk Yayasan/Perkumpulan"

“Hingga Juli 2021, tercatat 250.807 Yayasan dan 174.402 Perkumpulan. Kemudian antara Yayasan dan Perkumpulan itu ada Rumah Sakit, Universitas, Sekolah, Lembaga Filantropi, Panti Asuhan, Organisasi Non Politik, Pesantren, Rumah Ibadah, Sanggar Seni dan sebagainya. Apakah kita akan memukul rata dan menjadikan semua itu dengan ormas?” tanya Eryanto Nugroho, Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia.

Pada UU Ormas, definisi Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) dan Ormas dicampuradukkan, padahal lingkup OMS jauh lebih luas jenis dan ragamnya. Sedangkan di sisi lain, OMS sering disebut sebagai salah satu pilar demokrasi, penyeimbang sektor negara dan swasta.

Untuk itu, OMS perlu dilindungi ruang geraknya agar tetap bebas berinovasi. Salah satunya dengan menjamin hak kebebasan berserikat berorganisasi, termasuk memastikan pertumbuhan lingkungan pendukung (enabling environment) yang menguatkan, serta dari segi kerangka hukum.

Mari kita lihat bahwa Indonesia memiliki banyak undang-undang, sudah ada UU Yayasan dan UU Perkumpulan, maka jangan membuat dan menerapkan undang-undang baru yang membuat rancu kerangka hukum lainnya. UU Ormas mengeruk dan menjadikan satu semua jenis organisasi yang ada di masyarakat namun membatasi ruang gerak serta lebih jauh lagi akan mengancam nilai-nilai demokrasi di Indonesia.