Diterbitkan pada | Jumat, 13 Agustus 2021
YAPPIKA-ActionAid, Lentera
Anak Pelangi, dan LBH Masyarakat Menyelenggarakan Diskusi Publik Online “Ada
Apa dengan Antiretroviral untuk Anak HIV?”
Pada 14 Juli 2021, Jaringan Kerja Advokasi
Pelayanan Publik Sektor Kesehatan yang terdiri atas YAPPIKA-ActionAid (YAA),
Lentera Anak Pelangi (LAP), dan Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBH M) menyelenggarakan
diskusi publik online dengan tema “Ada Apa dengan Antiretroviral untuk Anak
HIV?”. Kegiatan ini merupakan respon dan tindak lanjut dari jaringan kerja
advokasi atas laporan hasil akhir pemeriksaan Ombudsam RI terhadap permasalahan
pelayanan farmasi ketersediaan obat bagi anak dengan HIV oleh Kementerian
Kesehatan (Kemenkes). Kegiatan ini memiliki tiga tujuan penting, yaitu 1) memaparkan
perspektif ahli terhadap laporan akhir hasil pemeriksaan (LAHP) Ombudsman RI
mengenai permasalahan terkait pelayanan farmasi ketersediaan obat bagi anak
dengan HIV; 2) menginformasikan kepada publik terkait
permasalahan ARV anak; dan 3) mendiskusikan bersama jalan keluar yang dapat
dilakukan dalam rangka penyediaan ARV yang ramah dengan anak.
Diskusi publik online ini dihadiri oleh 43 peserta. Kegiatan ini juga dihadiri oleh lima narasumber, yaitu 1) Natasya Sitorus (LAP) sebagai perwakilan jaringan kerja advokasi; 2) Siradj Okta (Dosen FH Unika Atma Jaya Indonesia); 3) Ignatius Praptoharjo (Peneliti PUIK2IS PPH Atma Jaya); 4) Hariadi Wisnu Wardana (Perwakilan Subdit HIV dan IMS Kemenkes); dan 5 Na Endi Jaweng (Anggota Ombudsman RI). Kegiatan ini dimoderatori oleh Novia Puspitasari (LBH Masyarakat).
Dalam diskusi publik online ini,
Natasya menjelaskan pandangan dan sikap jaringan kerja advokasi terhadap proses
dan hasil pelaporan permasalahan pelayanan farmasi ketersediaan obat bagi
anak dengan HIV oleh Kemenkes ke Ombudsman RI serta perkembangan penyediaan ARV bagi
anak HIV di Indonesia. Natasya menjelaskan bahwa Ombudsman RI dan Kemenkes
hanya melihat pengaduan jaringan kerja advokasi sebagai ketersediaan obat ARV
anak, tetapi tidak melihat dinamika permasalahan obat ARV anak di lapangan
secara menyeluruh. Tidak hanya itu, Natasya juga menjelaskan bahwa peran
Kemenkes dalam pengawasan implementasi penyediaan obat ARV anak tidak diuraikan
secara detail dalam LAHP Ombudsman RI. Natasya juga mengingatkan, “Salah satu
komitmen dalam Deklarasi Politik dari Pertemuan Tingkat Tinggi HIV di New York
Juni 2021 adalah memastikan bahwa bagi semua anak yang didiagnosis dengan HIV tersedia
rejimen pengobatan dan formula yang dioptimalkan untuk kebutuhan mereka. Oleh
karena itu, pemerintah Indonesia harus melaksanakan komitmen tersebut sebagai
upaya mengakhiri ketidaksetaraan dan kembali ke jalur mengakhiri AIDS pada
2030”.
Penjelasan Natasya diperkuat oleh materi
Siradj Okta mengenai pendapat hukum terhadap LAHP Ombudsman RI dan materi
Ignatius Praptoraharjo mengenai “Pentingnya ARV bagi Anak atau yang Penting
ARV?” - analisis terhadap LAHP Ombudsman RI dari perspektif kesehatan
masyarakat dan perlindungan anak dengan HIV/AIDS. Okta menjelaskan, “Dari aspek
material, LAHP Ombudsman RI menunjukkan sudah ada tindak lanjut permasalahan
melalui langkah-langkah yang disampaikan dalam proses. Namun, tidak terdapat
informasi bagaimana langkah-langkah tersebut dapat berkontribusi pada upaya
menetralisir kontradiksi/disparitas pelayanan yang terjadi di lapangan”. Dengan
ditolaknya pengaduan dari jaringan kerja advokasi, pelapor dan Ombudsman RI
tidak memiliki kesempatan untuk menguji poin-poin Pelapor yang belum mendapat
tanggapan sebelum LAHP. Selain itu, Okta juga merekomendasikan beberapa hal,
antara lain Kemenkes RI dapat memberikan penjelasan perihal kendala
non-administratif apa yang masih menyebabkan terkendalanya akses obat ARV anak;
penjelasan atas pelaksanaan 3 solusi yang disampaikan dalam LAHP: penyediaan
alat tukar dosis di setiap fasilitas kesehatan, tersedianya garis potong obat,
dan pembahasan kebijakan; penjelasan tentang perencanaan Kemenkes mengenai
upaya untuk memastikan obat ARV anak ke dalam register dan e-katalog sehingga hal
tersebut tidak lagi menjadi kendala.
Ignatius yang lebih dikenal dengan Gambit
menjelaskan bahwa jumlah anak yang dilaporkan terinfeksi HIV relatif kecil,
tetapi membutuhkan pengobatan dan perawatan yang lebih kompleks sehingga perlu
ditangani secara sangat serius. Gambit beranggapan bahwa persoalan ARV yang
tersedia ini kurang optimal, tampaknya lebih menjadi kebijakan yang diambil,
alih-alih berfokus pada keberhasilan pengobatan anak dengan HIV secara umum.
Lebih lanjut, Gambit berpendapat bahwa asumsi penyediaan obat ARV bagi orang dewasa
tidak dapat digunakan untuk penyediaan obat bagi anak-anak dan pendekatan yang
digunakan harus lebih mencerminkan kewajiban pemenuhan hak anak yang hidup
dengan HIV untuk memperoleh perawatan
kesehatan yang optimal. Gambit mengakhiri, “Perlu ada perubahan cara pandang,
dari yang berfokus ‘yang penting ARV’ menjadi pentingnya ARV bagi anak”.
Pada proses selanjutnya, Hariadi dari Kemenkes
dan Endi Jaweng dari Ombudsman RI berusaha menanggapi ketiga penjelasan
tersebut. Hariadi menjelaskan bahwa Pemerintah Indonesia, khususnya Kemenkes,
sangat berkomitmen dalam upaya pengendalian HIV, termasuk dalam rencana
strategis jangka panjang di bidang penyakit menular. Lebih lanjut, Hariadi
menjelaskan bahwa untuk penyediaan obat esensial, banyak sektor yang harus
bekerja sama dan terlibat, seperti Kemenkes, Kementerian BUMN, Kemendag terkait
paten, lembaga independen (BPOM), dan sebagainya. Hariadi mengakhiri
penjelasannya, “Perlu keterlibatan aktif dan peran aktif, tidak hanya
pemerintah, tetapi juga komunitas, sesuai dengan peran dan tugas
masing-masing”.
Endi sebagai anggota Ombudsman RI menjelaskan
bahwa pemenuhan hak atas kesehatan bagi anak adalah bagian dari memelihara
kehidupan dan memastikan kualitas hidup bagi generasi di masa depan. Lebih
lanjut, Endi menjelaskan bahwa terdapat dua langkah lanjutan pasca LAHP
Ombudsman yang mungkin dapat dilakukan oleh jaringan kerja advokasi, yaitu
pelaporan hasil-hasil temuan pemeriksaan ke Asisten Utama Manajemen Mutu (AUMM)
dan pelaksanaan systemic review dari Ombudsman RI dalam rangka mencegah
maladministrasi pelayanan publik.