Diterbitkan pada | Senin, 12 Februari 2024
Posisi Politik Koalisi Masyarakat
Sipil Indonesia untuk Advokasi HAM Internasional
“Sisi Gelap Pembangunan Era Jokowi Dalam
Dua Modus Represi:
Populisme Sektarian Dan Dalih Pembangunan”
Koalisi Masyarakat Sipil Indonesia untuk Advokasi HAM Internasional menyatakan Pemerintahan Joko Widodo telah gagal dalam menjalankan kewajiban penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak-hak sipil dan politik (sipol) juga hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya (ekosob). Pemerintah Joko Widodo --khususnya dalam masa pandemi Covid-19 dan setelahnya– membuat sejumlah kebijakan yang berorientasi pasar yang justru merusak demokrasi, menyuburkan korupsi, eksploitatif dan ekstraktif terhadap sumber daya alam yang menguntungkan sebagian kecil elite dan keluarganya serta semakin menjauhkan kelompok rentan untuk mendapatkan hak-haknya.
Dari kerja-kerja pemantauan dan advokasi yang dilakukan oleh anggota dan jaringannya, koalisi menyatakan, rezim Jokowi telah melakukan banyak pelanggaran HAM dan secara sistematis dengan melakukan korupsi politik, termasuk kejahatan elektoral, khususnya memanfaatkan situasi pandemi dan pemilu untuk mendorong agenda otoritarian eksploitatif yang oportunistik, di antaranya; (1) pembuatan UU Cipta Kerja yang mempermudah pemberian izin investasi dengan mengabaikan daya dukung lingkungan dan perlindungan hak-hak masyarakat; (2) revisi UU Minerba yang memberikan banyak insentif bagi perusahaan tambang dengan mengabaikan kerusakan lingkungan yang ditimbulkannya; (3) proyek strategis nasional (PSN) yang mendorong percepatan perusakan lingkungan oleh masifnya proyek pembangunan fisik oleh pemerintah dan swasta; (4) pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang selama ini berperan penting dalam mencegah dan memberantas korupsi di sektor pengelolaan sumberdaya alam; (5) revisi atas KUHP dan UU ITE yang masih mempertahankan pasal-pasal represif, bahkan over-kriminalisasi dan mengancam kebebasan berpendapat dan berekspresi, termasuk kebebasan akademik; (6) mengancam kebebasan pers mulai dari regulasi yang tidak pro kemerdekaan pers, pembiaran kekerasan terhadap jurnalis, dan negara lepas tanggung jawab atas kebebasan pers, dll.
Terlebih, akhir 2023 dan awal 2024 diwarnai dengan laku politik Presiden Jokowi yang merusak demokrasi dengan melakukan penyalahgunaan kekuasaan untuk kepentingan kelompok dan keluarganya. Mulai dari kasus pelanggaran serius kode etik Ketua Mahkamah Konstitusi yang memberikan putusan banal yang meloloskan putranya, Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil Presiden hingga kasus etik berat Ketua Komisi Pemilihan Umum dalam pencalonan Prabowo-Gibran, yang keseluruhannya ini dapat merusak integritas Pemilu. Agenda-agenda otoritarian yang eksploitatif diwujudkan melalui proses yang nampaknya demokratis, melalui jalur-jalur formal seperti pembuatan UU, mekanisme hukum, dan pemilu.
Watak otoritarian ini muncul dalam dua modus represi yakni represi sektarian populis dan represi dalih pembangunan. Pertama, represi berbasis populisme sektarian (repressive sectarian populism) adalah siasat politik yang mendasarkan diri pada isu-isu sektarian; agama, ras dan etnis, serta golongan. Represi jenis ini telah banyak meminggirkan sejumlah kelompok rentan, minoritas agama, ras, jender, yang tidak diterima keberadaannya oleh sebagian besar (mayoritas) masyarakat atas alasan agama, perbedaan ras dan etnis, dll. Pemerintah, alih-alih melindungi setiap orang terlepas apapun latar belakangnya, justru untuk kepentingan kekuasaannya, meneruskan stigma, diskriminasi dan menjadi pelaku pelanggaran HAM terhadap sejumlah kelompok rentan yang digelorakan oleh kelompok mayoritas (majoritarianism). Kasus-kasus seperti pelarangan pendirian rumah ibadah, persekusi dan kekerasan terhadap kelompok Ahmadiyah, kelompok agama/ kepercayaan lokal, LGBTIQ, masih berlakunya hukuman mati, dll, adalah sedikit contohnya.
Kedua, represi ala Orde Baru zaman Soeharto, yaitu cara untuk membungkam siapa saja yang melawan kepentingan nasional untuk dalih pembangunan (repressive developmentalism), khususnya pembangunan infrastruktur. Hak-hak demokrasi dipinggirkan atas nama kepentingan strategis nasional, misalnya represi dan kekerasan yang terjadi di Rempang, Wadas, IKN, Papua, dan berbagai daerah lain di Indonesia. Situasi ini berjalan bersamaan dengan impunitas yang terus berlangsung bagi pelaku pelanggaran HAM berat. Hingga saat ini tak ada satupun kasus pelanggaran HAM berat masa lalu yang diselesaikan.
Dengan agenda revolusi mental saat awal menjabat, Jokowi kini kian menunjukan dirinya sebagai pejabat negara yang tidak memiliki etika dalam politik, rakus, dan otoriter yang menyuburkan korupsi, kolusi dan nepotisme, menuruni sifat Orde Baru yang masyarakat sipil selama ini lawan.
Untuk itu, koalisi masyarakat sipil Indonesia dengan ini
menyatakan posisi politik1;
Jakarta, 11 Februari 2024
Koalisi Masyarakat Sipil Indonesia untuk Advokasi HAM Internasional
Narahubung: