Rilis Pers Webinar – KKB PENYUSUNAN KEBIJAKAN LOKAL TENTANG ORMAS: ANTARA URGENSI, PILIHAN SOLUSI DAN POTENSI MASALAH

Diterbitkan pada | Kamis, 01 Oktober 2020

Pasca-penerbitan Perppu No. 2 Tahun 2017 tentang Ormas—yang telah disahkan menjadi UU No. 16 Tahun 2017—Mendagri Periode 2014 – 2019 meminta daerah untuk merancang peraturan di tingkat lokal tentang ormas untuk kepentingan keamanan dan ketertiban masyarakat. Seiring berjalan waktu, beberapa daerah mewacanakan untuk membuat rancangan peraturan di tingkat lokal tentang ormas, misalnya Pemprov Jawa Timur, Pemprov DKI Jakarta, hingga Pemprov Kalimantan Selatan. Hasil temuan media online dan lapangan KKB juga menunjukkan bahwa terdapat beberapa daerah yang sedang membahas rancangan perda tentang ormas. Beberapa daerah yang dimaksud adalah Kabupaten Karawang, Provinsi DIY, dan Provinsi Riau.

Di dalam dokumen yang didapatkan oleh KKB, salah satu pertimbangan pembentukan Raperda Kabupaten Karawang tentang Ormas adalah untuk tertib administrasi pendaftaran ormas tidak berbadan hukum, upaya untuk memberikan dukungan penguatan kapasitas kelembagaan ormas, dan untuk mewujudkan pelaksanaan fasilitasi kebijakan dalam rangka pemberdayaan ormas guna mendukung upaya peningkatan kinerja dan menjaga keberlangsungan ormas. Hal tersebut hampir sama dengan yang tertulis pada Rapergub DIY tentang Pencatatan, Fasilitasi, dan Kerja Sama Ormas di DIY dan Raperda Provinsi Riau tentang Pemberdayaan Ormas. Misalnya, dua pertimbangan pembentukan Rapergub DIY tentang Pencatatan, Fasilitasi, dan Kerja Sama Ormas di DIY, yaitu 1) kepala daerah memiliki kewajiban untuk mengembangkan demokrasi yang dapat dilakukan melalui pemberdayaan ormas yang ada di daerah dan 2) belum ada peraturan tingkat daerah yang secara khusus mengatur jaminan ketepatan identitas ormas yang melaksanakan kegiatannya di DIY. Dalam Raperda Provinsi Riau tentang Pemberdayaan Ormas, juga tertulis bahwa salah satu pertimbangannya adalah bahwa perkembangan ormas di Provinsi Riau semakin meningkat sehingga perlu pemberdayaan dan pengawasan ormas yang melibatkan peran pemda untuk meningkatkan pembangunan di Provinsi Riau.

Terkait ini, KKB memiliki sejumlah temuan dan catatan atas Naskah Akademik (NA) dan Ranperda Provinsi Riau tentang Pemberdayaan Ormas, diantaranya :

1. Tidak tepat menempatkan Ranperda Pemberdayaan Ormas sebagai solusi atas beragam masalah yang terjadi pada ormas. Berdasarkan penelusuran atas dokumen Naskah Akademik, Ranperda Pemberdayaan Ormas bertujuan untuk mengatasi ormas yang radikal dan bersifat arogan, ormas yang dilahirkan untuk kegiatan politik, ormas yang tidak mendaftarkan keberadaannya, dan ormas yang kegiatannya tidak sesuai dengan AD/ART. Ada berbagai permasalahan yang ingin diselesaikan oleh perda tersebut. Padahal akar dari setiap permasalahan berbeda-beda.

2. Pilihan data dan argumentasi yang kontradiktif terhadap urgensi dan arah pengaturan dari Ranperda Pemberdayaan Ormas. Dalil atau argumentasi (terpilih) yang kemudian dimuat dalam Naskah Akademik Ranperda Pemberdayaan Ormas justru mempertanyakan eksistensi UU 17/2013 itu sendiri.

3. Putusan Mahkamah Konstitusi tidak menjadi acuan dalam penyusunan Ranperda Pemberdayaan Ormas. Berdasarkan dokumen NA BAB III EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT Subbab 8 Karakteristik Materi Pengaturan Organisasi Kemasyarakatan Pasal 8 UU 17/2013 yang mengatur ruang lingkup ormas nasional, provinsi atau kabupaten menjadi basis pembentukan Ranperda Pemberdayaan Ormas (sebagaimana yang ditegaskan kembali pada Subbab A Kesimpulan BAB VI PENUTUP). Padahal sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 82/PUU-XI/2013, Pasal 8 UU 17/2013 termasuk salah satu yang dibatalkan.

Meskipun pertimbangan di dalam berbagai peraturan di tingkat lokal tersebut baik dan positif bagi pengembangan ormas, pembentukan peraturan di tingkat lokal tersebut juga harus memperhatikan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 82/PUU- XI/2013. Salah satu Putusan MK adalah membatalkan Pasal 40 ayat 1 UU No. 17 tahun 2013 yang berisi “Pemerintah dan/atau Pemerintah daerah melakukan pemberdayaan Ormas untuk meningkatkan kinerja dan menjaga keberlangsungan hidup Ormas”.

Menurut pendapat dan pertimbangan Mahkamah, kemajuan dan kemunduran suatu ormas adalah urusan internal yang menjadi kebebasan dan tanggung jawab ormas yang bersangkutan. Apabila pada akhirnya ormas tidak mampu meneruskan keberlangsungan organisasinya, maka hal demikian merupakan hal yang alamiah dan wajar. Walaupun demikian, tidak berarti bahwa negara tidak boleh memberi bantuan kepada ormas, baik berupa dana maupun dukungan lain untuk memajukan suatu ormas. Pemberian bantuan yang demikian wajar saja, sepanjang ormas yang bersangkutan memerlukannya dan secara sukarela menerimanya. Artinya bentuk bantuan apa pun dari pemerintah, sangat bergantung kepada suatu Ormas untuk menerima bantuan negara atau tidak, tetapi negara tidak dapat memaksakan kehendaknya kepada Ormas melalui wadah pemberdayaan. Dst”.

Tidak hanya itu, Putusan Mahkamah Konstitusi juga membatalkan pasal terkait ruang lingkup (Pasal 8 UU No. 17 Tahun 2013) dan pasal terkait pendaftaran (Pasal 16 ayat 3, Pasal 17, dan Pasal 18 UU No. 17 Tahun 2013). Dalam hal ini, Mahkamah Konstitusi menegaskan bahwa Pemerintah tidak dapat memaksa atau mewajibkan ormas yang tidak berbadan hukum untuk mendaftarkan diri (memiliki Surat Keterangan Terdaftar/SKT) berdasarkan wilayah kerja maupun lingkup nasional, provinsi, dan kabupaten/kota. Ormas yang tidak berbadan hukum dapat mendaftarkan diri, tapi tidak dilarang jika tidak mendaftarkan diri. Jika suatu ormas ingin mendaftarkan diri, dapat dilakukan sesuai domisili atau wilayah kerja. Ketika suatu ormas yang tidak berbadan hukum memilih untuk tidak mendaftarkan diri, Pemerintah harus tetap mengakui dan melindungi keberadaannya sebagai ormas yang dapat melakukan kegiatan di lingkup daerah maupun nasional. Dengan kata lain, ormas tidak dibatasi wilayah kerjanya berdasarkan pada tempat pendaftaran.

Jakarta, 24 Juli 2020

KOALISI KEBEBASAN BERSERIKAT (KKB)


Tag :