Diterbitkan pada Jumat, 19 September 2025
PEKANBARU – Koalisi Kebebasan Berserikat menyelenggarakan pelatihan intensif mengenai hak konstitusional dan strategi advokasi bagi organisasi masyarakat sipil dan generasi muda di Pekanbaru. Kegiatan ini menghadirkan pakar hukum terkemuka dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), lalu Yayasan Penguatan Partisipasi, Inisiatif, dan Kemitraan Masyarakat Indonesia (YAPPIKA) serta YLBHI-LBH Pekanbaru sebagai pemateri utama. Pelatihan ini bertujuan memperkuat kapasitas peserta dalam memahami landasan hukum hak kebebasan sipil dan mengembangkan strategi advokasi yang efektif.
Violla Reininda, Manajer Program PSHK, memaparkan bahwa konstitusi Indonesia sebenarnya memberikan jaminan yang sangat progresif terhadap hak kebebasan sipil. Ia menjelaskan bahwa UUD 1945 secara khusus mengatur perlindungan HAM dalam Pasal 28A sampai 28J, yang justru lebih detail dibandingkan konstitusi negara-negara demokrasi maju lainnya.
"Hak berkumpul, berorganisasi, dan berekspresi telah dijamin secara konstitusional dalam Pasal 28C Ayat 2, Pasal 28E Ayat 3, dan seluruh rangkaian Pasal 28 UUD 1945. Yang membedakan konstitusi Indonesia dengan negara lain adalah adanya pengaturan khusus tentang HAM yang sangat komprehensif," tegas Violla dalam paparannya, Selasa (16/9/2025).
Violla lebih lanjut menjelaskan bahwa kebebasan berekspresi mencakup tidak hanya penyampaian pendapat tetapi juga ekspresi identitas, keyakinan, dan gaya hidup. Ia menekankan bahwa dalam era digital, ruang ekspresi telah meluas ke platform digital dan media sosial. Pemaparan ini disambut antusias oleh peserta yang sebagian besar merupakan generasi muda yang aktif di ruang digital.
Wilton Amos Panggabean, Pengacara Publik YLBHI-LBH Pekanbaru, melanjutkan dengan memaparkan empat kewajiban negara dalam perlindungan HAM.
"Pertama, kewajiban untuk menghormati (to respect) mengharuskan negara tidak mengintervensi hak-hak warga negara. Kedua, kewajiban untuk memenuhi (to fulfill) mewajibkan negara mengambil langkah-langkah positif untuk merealisasikan HAM, ketiga, kewajiban untuk melindungi (to protect) mengharuskan negara mencegah pelanggaran HAM oleh pihak ketiga. Keempat, kewajiban untuk mempromosikan (to promote) mewajibkan negara menyebarluaskan pemahaman tentang HAM," jelas Wilton.
"Banyak aparat pemerintah yang belum memahami perbedaan antara kewajiban memenuhi dan melindungi. Ketika masyarakat mengalami persekusi, yang diperlukan adalah perlindungan, bukan justru pembatasan," tutup Wilton dalam menyoroti sering terjadinya kekeliruan dalam implementasi kewajiban negara oleh pejabat.