Wati: Belajar Tak Pernah Usai

Diterbitkan pada | Kamis, 15 Juni 2023

YAPPIKA-ActionAid bersama PPSW Pasoendan Digdaya melaksanakan Program Kepemimpinan Perempuan dalam Perlindungan berbasis Komunitas (Women-Led Community Based Protection/WLCBP). Tim YAPPIKA-ActionAid mewawancarai Jana Wati (27 tahun) dari Desa Tamanjaya, Kecamatan Sumur, Pandeglang, Banten pada 25 Januari 2023.

Jana Wati atau biasa dipanggil Wati menceritakan ingatannya di sekolah dasar, “keluarga saya tidak memiliki biaya untuk membayar Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP), makan saja sulit, kami 4 bersaudara dan ayah bekerja sebagai nelayan, ketika musim angin barat akan sulit mendapat tangkapan dan penghasilan tidak pasti”.

Mengingat memori masa kecilnya Wati bercerita tentang perundungan yang dia alami karena memakai seragam lusuh, “selama sekolah dasar (6 tahun) saya hanya punya satu seragam merah putih, kadang ada yang memberi, kadang kebesaran bajunya, kadang kebesaran roknya tapi ya dipakai saja.”

Jika musim hujan datang Wati tidak akan memakai seragam tetapi menggunakan baju biasa dan guru di sekolah sudah memahami situasi Wati. “Kadang saya merasa, oh pantas saya dibully, pakaian saja saya tidak punya, pakaian saya lusuh tidak serapih teman-teman,”

“Saat SMP ada Masa Orientasi Siswa (MOS), saya ikut MOS namun dengan penuh perjuangan. Saat itu ada tugas dari kakak-kakak kelas untuk memakai aksesoris (kalung) dari berbagai jenis jajanan. Siswa lain menggunakan jajanan yang mahal sedangkan saya dengan dana terbatas, saat itu lima ribu saja orangtua saja meminjam ke tetangga tapi tidak dipinjamkan, akhirnya ayah saya memunguti biji melinjo untuk dijual untuk akhirnya saya bisa membeli jajanan untuk MOS”

Saat sekolah menengah pertama (SMP) Wati semangat mengikuti berbagai kegiatan di sekolah mulai dari kegiatan praja muda karana (pramuka) hingga pasukan pengibar bendera pusaka (paskibra) meski harus sejam berjalan kaki pulang dan pergi ke sekolah, “saya tidak peduli yang penting saya sekolah dan aktif di kegiatan sekolah atau kadang ikut mobil pembawa bensin,” kenangnya.

Seragam sekolah yang sudah lusuh pun masih digunakan Wati. Dia bercerita ketika teman-teman sekolahnya memakai seragam batik SMP, dia masih menggunakan batik SD. Saat masa SMP dia tidak mempunyai baju pramuka dan baju olahraga. Dengan penuh tekad tanpa rasa malu Wati bertanya ke tetangga sekitar apakah tetangganya memiliki seragam SMP bekas. “Pakaian saya sudah tipis, dan sobek terus, kadang dijahit, kadang diberi plaster penutup luka agar tidak terlihat sobek saja. Kalau jarak menuju SD tidak jauh, kalau ke SMP lebih jauh, sampai alas sepatu dan kaus kaki bolong, saya ingat dulu jika saya membuka sepatu dan meninggalkan sepatu itu pasti diejek dan seputu saya dilempar-lempar sama teman. Itu punya saya satu-satunya, mereka tertawa, kemudian saya menangis. Sepatu itu hasil hutang.”

Semangat Wati untuk melanjutkan ke jenjang sekolah menengah atas (SMA) surut karena SMA terdekat tidak bisa ditempuh dengan jalan kaki, “kalau naik kendaraan umum saya butuh waktu 1 jam, orangtua bilang tidak punya modal, walau tidak bayar sekolah tapi tidak bisa jalan kaki. Jika ke pesantren juga harus ada beras dan bekal untuk saya makan.”

Setelah tidak bersekolah Wati mendapat kabar dari temannya dari desa tetangga bahwa ada beragam pekerjaan di kota. Wati yang bimbang saat itu berusaha mencari peluang untuk melanjutkan sekolah dengan biaya sendiri, dia berniat untuk mencari uang, menabung, kemudian melanjutkan sekolah.  ”Saat itu (umur 15 tahun) belum bisa beres-beres rumah tapi jika menjaga anak saya mungkin bisa, saya biasa menjaga adik-adik saya,” jelas Wati mengenai pekerjaannya.

Meski pada pekerjaan pertamanya Wati tidak mendapat kekerasan fisik namun dia merasakan kekerasan psikis, “saat bekerja di Jakarta Utara saya tidak diperbolehkan keluar rumah, jika majikan pergi saya dikunci dari luar, makan dijatah, makan pagi saja pukul 10 atau 11 siang, saya tidak punya tenaga untuk bekerja. Setelah 2 minggu di sana saya tidak betah, tapi tidak bisa pulang karena tidak punya nomor penyalur.” Jelas Wati.

Akhirnya Wati berhenti dari pekerjaannya karena dijemput oleh saudaranya, Wati dibantu oleh satpam perumahan untuk menghubungi saudaranya. Saat itu Wati tidak mendapatkan gaji, dia justru mendapat ancaman dari majikannya akan dilaporkan ke polisi karena belum bekerja selama 3 bulan.

Kenangan Wati bekerja tanpa perlindungan sosial tersebut masih melekat, kenangan ini yang membuatnya semangat untuk mengikuti berbagai pelatihan informal. “Saya tidak mau remaja dari Desa Tamanjaya mengalami hal yang sama seperti saya, disekap majikan. Saya mau remaja dari Desa Tamanjaya minimal lulus SMA dan dapat pekerjaan layak.”

Sejak 2018 Wati aktif mengikuti peningkatan kapasitas terkait kebencanaan. “Saya cukup aktif mengikuti pertemuan yang membahas bencana, mulai dari Desa Tangguh Bencana hingga diskusi-diskusi pengurangan resiko bencana,” jelas Wati 


Kini  (Juni 2023) Wati kembali ke Jakarta namun sebagai perwakilan dari Forum Perempuan Desa Tamanjaya, Pandeglang. Dia menceritakan pengalamannya dalam Workshop Pengembangan Model Desa/Kelurahan Ramah Perempuan dan Anak dalam Situasi Bencana di Gedung KPPPA, Jakarta, 

“Akses pendidikan di desa kami sulit, banyak anak perempuan yang putus sekolah, banyak pekerja anak, dan setelah mereka bosan bekerja pada akhirnya mereka akan memutuskan untuk menikah di usia anak. Ini pengalaman saya sendiri, saya menikah di usia anak, setelah menikah di bawah 17 tahun, pada 18 tahun sudah melahirkan. Setelah lulus Sekolah Menengah Pertama (SMP) saya meminta kepada orangtua untuk melanjutkan sekolah, namun karena keterbatasan biaya pada waktu itu maka orangtua tidak bisa menyekolahkan saya. Bagi mereka, yang penting bisa baca tulis sudah, karena kata orangtua perempuan itu tidak butuh pintar, perempuan tidak usah sekolah tinggi karena pada dasarnya perempuan akan berumah tangga dan tempatnya di dapur,” ungkap Wati menceritakan kisah masa lalunya.

Wati juga bercerita mengenai pengalamannya ketika terlibat dalam respon bencana, “Dulu ketika ada tsunami di desa saya, saya bingung harus apa. Sekitar pukul 9 malam saya tiba-tiba dibangunkan oleh suami dan disuruh berlari. Saya tidak pernah diajarkan di sekolah cara menyelamatkan diri, saya hanya terdiam melihat orang berlarian. Akhirnya saya ditarik suami berlari hingga sawah. Saya juga tidak tahu cara menyelamatkan tetangga saya yang lansia,” ceritanya.

“Dulu saya hanya bisa berteriak-teriak agar ada yang menyelamatkan nenek itu. Kini saya bersama focal point perempuan Tamanjaya bahkan sudah membuat pemetaan kerawanan bencana di desa kami,” ujarnya dengan bangga dan tersenyum di depan peserta Workshop Pengembangan Model Desa/Kelurahan Ramah Perempuan dan Anak dalam Situasi Bencana.


Ditulis oleh Gabrella Sabrina, Communication Officer