Gerakan Rakyat Asia Pasifik Tuntut Keadilan Iklim

Diterbitkan pada Kamis, 05 Desember 2024

Koreksi, Jakarta- Perwakilan gerakan rakyat dari 14 negara Asia-Pasifik berkumpul pada Rabu, (4/12). Dalam Konferensi Rakyat se-Asia Pasifik itu, mereka menuntut negara-negara maju untuk lebih serius dalam penanganan krisis iklim. 

Asmania, seorang warga Pulau Pari mengaku laju krisis iklim yang semakin cepat membuatnya khawatir akan nasib tanah kelahirannya. 

“Di Pulau Pari itu laju pengikisan bibir pantai sudah begitu parah, satu tahun bisa 8 meter angkanya,” kata perempuan yang kerap dipanggil Aas ini. 

Aas juga merasakan krisis iklim tidak hanya menenggelamkan pulaunya. Namun juga menghambat mata pencaharian suaminya sebagai nelayan. Pendapatannya mengalami penurunan akibat musim yang semakin sulit ditebak. 

Selama lima tahun ke belakang, Aas mengaku nelayan Pulau Pari tidak ada yang bisa menemukan pola musim. 

“Kadang tahu-tahu di tengah laut kena badai, padahal bukan musim badai waktu itu,” ungkapnya. 

Selain itu, di sektor pariwisata yang menjadi tulang punggung warga pun mengalami penurunan pendapatan. Lagi-lagi, cuaca yang tidak bisa ditebak menjadi penyebab utamanya. 

Aas juga sering mendapati pulaunya terkena banjir rob. Bahkan, banjir rob sudah terhitung dua kali terjadi. Akibatnya sektor pariwisata terhambat serta tanaman-tanaman warga alami kerusakan. 

Ia melihat dunia internasional perlu secara serius membicarakan kedaruratan iklim. Apalagi di wilayah-wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang terancam tenggelam. 

“Perlu upaya serius dari negara-negara dunia pertama, selain itu gerakan akar rumput di seluruh dunia harus bersolidaritas bersama atas ancaman ini,” ungkapnya. 

Data dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) pada 2021 mengatakan krisis iklim mengancam 115 pulau-pulau kecil di Indonesia. Sementara di dunia, negara kepulauan di Pasifik, Hindia, dan Atlantik terancam mengalami kerusakan parah akibat krisis iklim. 

Direktur Eksekutif ActionAid India, Sandeep Chachra menyatakan gerakan rakyat di negara dunia ketiga perlu menemukan satu titik perjuangan bersama. Baginya, kerusakan iklim yang terjadi di negara-negara berkembang disebabkan oleh negara dunia pertama. Maka seharusnya beban terbesar diberikan ke mereka. 

“Perlu perubahan dalam perspektif di dunia internasional dalam memandang krisis iklim, tidak boleh menggunakan kacamata neokolonialisme dan neoliberalisme tapi harus mengedepankan aspek kelokalan serta pemberdayaan akar rumput,” ungkapnya. 

Baginya pertemuan antara gerakan-gerakan rakyat se-Asia Pasifik ini merupakan langkah awal dalam membentuk jaring solidaritas antara rakyat Dunia Selatan. Ia menekankan bahwa kita semua dapat berbagi pengalaman tentang penindasan dan perjuangan di antara rakyat Dunia Ketiga. 

“Seluruh pembicaraan tentang penanganan krisis iklim didikte oleh mereka (Dunia Utara), kita harus merebut narasi itu untuk perjuangan rakyat Asia-Pasifik,” katanya. 

Perwakilan YAPPIKA ActionAid Indonesia, Munawir mengungkapkan pertemuan ini tidak hanya mempertemukan gerakan-gerakan di Asia-Pasifik. Tapi juga mengeratkan gerakan akar rumput di Indonesia. Sebab beberapa perwakilan dari Sulawesi Tengah, Nusa Tenggara Timur, Lampung, Jawa Tengah, dan Jakarta dengan ragam latar belakang berbeda turut hadir. 

“Mereka yang ada di tingkat basis ini dapat menemukan hal baru satu sama lain yang nanti berujung pada solidaritas bersama antara satu dengan yang lainnya,” ungkap Munawir. 

Secara umum, kata Munawir masyarakat punya cara sendiri dalam beradaptasi dengan krisis iklim. Namun, dengan situasi saat ini, masalah krisis iklim tidak hanya berdampak pada kelompok marjinal, tapi seluruh masyarakat secara luas.

“Dalam situasi krisis iklim kita (Dunia Selatan) yang paling kena dampak, mereka malah dapat untung karena eksploitasi. Harus ada keadilan bagi rakyat marjinal dari situasi krisis iklim sekarang, proses keadilan iklim harus memperhatikan masyarakat miskin di Dunia Selatan,” tutupnya. 


Ditulis oleh  Izam Komaruzaman pada Koreksi.org dengan judul yang sama

Tag :