Diterbitkan pada | Selasa, 15 November 2022
Nama sebenarnya Lilis, karena badannya kecil sejak lahir dibanding anak lainnya dikatakan halus, jadilah sampai saat ini Bu Lilis lebih dikenal dengan panggilan Bu Alus. Beliau adalah orang tua tunggal yang harus membesarkan 3 orang putra. Tidak seperti ibu lain yang kita temui, Bu Lilis tidak mengalami langsung kedahsyatan musibah tsunami, karena saat itu Bu Lilis ikut suami yang bekerja di kota.
Pasang surut kehidupan Bu Lilis bisa dibagi dalam 3 periode yang masing-masing dengan perbedaan yang signifikan. Periode pertama adalah masa sebelum suami Bu Lilis meninggal. Bu Lilis menikah saat usia masih belia beberapa tahun setelah tamat SMP. Ketidaktahuan, kurangnya pengalaman dan pendidikan serta perlakuan kasar yang sering dilakukan suami, membuat Bu Lilis menjadi sosok yang tertutup, pendiam dan rendah diri. Saat itu, Bu Lilis sehari
hari hanya mengurus anak dan rumah. Karena merasa tidak bisa apa-apa, Bu Lilis menerima saja segala perlakuan suaminya. Tidak hanya kekerasan fisik, Bu Lilis juga mengalami penderitaan bathin karena perkataan kasar dan harus bersaing dengan perempuan-perempuan lain selingkuhan suaminya. Penderitaan ini berakhir
karena sebuah kecelakaan, suami Bu Lilis meninggal bersama teman perempuannya. Bu Lilis ditinggalkan tanpa ada jaminan keuangan dan 3 orang anak yang harus dibesarkan. Anak terkecil saat itu berusia 7 bulan, namanya Fauzan.
“Saat itu saya bisa memaksa diri untuk makan sekedar bertahan hidup demi anak-anak, tapi perlakuan kasar, tidak begitu saja bisa dilupakan, dan saya hanya pasrah menerima semuanya. Kalau protes atau mengeluh, saya akan makin disakiti”
Bu Lilis tak kuasa membendung tangis.
Periode kedua dimulai setelah kecelakaan tragis itu. Bu Lilis berjuang sebisanya dan harus menjadi orang tua tunggal. Beruntung, Bu Lilis memiliki keluarga yang selalu siap membantu. Ada adik dan kakak yang tidak tinggal diam, juga ibunda yang siap mengulurkan tangan meringankan beban anaknya. Bantuan-bantuan inilah yang membuat Bu Lilis bertahan dan melewati periode ini. Sepintas tidak ada yang salah, hanya saja Bu Lilis memulai ketergantungan lain. Ketergantungan pada saudara dan ibunya, memperbesar rasa tak berdaya.
Perkenalan dengan program dari Pattiro Banten dan YAPPIKA-ActionAid adalah penanda kehidupan periode ketiga Bu Lilis. Awalnya Bu Lilis diajak oleh Bu Iko, tetangganya. Respon pertama Bu Lilis tidak mau bergabung karena minder dan malu. Selalu saja alasannya “saya tidak bisa apa- apa”. Kegigihan teman-teman Bu Lilis dan keramahan para staf lapangan dari Pattiro Banten membuat Bu Lilis berhasil keluar dari cangkangnya. Ini adalah perubahan yang membuat Bu Lilis berganti wajah dari individu yang lama ke Bu Lilis yang baru.
Bu Lilis dengan bangga bisa menjelaskan bahwa dirinya bukan lagi pribadi pemalu dan tertutup. Bisa berbicara didepan orang banyak tentang ide dan gagasannya, juga menjadi moderator pada saat pertemuan ibu-ibu di komunitas Anyelir Berkarya, sebuah komunitas yang beranggotakan ibu-ibu yang memproduksi makanan ringan dari hasil alam Desa Sumberjaya dan hasil produksinya dipasarkan bersama-sama.
Berkumpul dengan para ibu-ibu ini sangat mendorong karakter positif Bu Lilis. Banyak ide dan terobosan marketing produk Komunitas Anyelir Berkarya agar bisa makin luas pemasarannya.
Saat ini Bu Lilis juga sudah punya usaha sendiri, sebuah warung kecil dipinggir pantai di desa Sumberjaya. Warung inilah yang sekarang menjadi fokus usaha Bu Lilis. Di warung ini Bu Lilis memasarkan semua hasil karya Paguyuban Perempuan desa Sumberjaya. Berbagai macam panganan kecil dan minuman disediakan. Namun
ada kelemahan berjualan disini. Omsetnya sangat tergantung kepada para nelayan. Jika hasil laut banyak, maka omset warung Bu Lilis juga ikutan naik, begitupun sebaliknya.
Untuk mengatasi permasalahan itu, bu Lilis melebarkan sayap dengan mengikuti pameran dan even yang ada di daerah sekitar. Bahkan pernah mengikuti pameran sampai ke Pandeglang.
“Pernah, satu kali even omsetnya satu setengah juta” Bu Lilis berujar bangga dengan usahanya. Sekarang Bu Lilis tdak lagi diam. Menjadi marketing handal memasarkan semua produk hasil produksi paguyuban perempuan desa Sumberjaya adalah cita-cita yang kini dirintis bu Lilis.
“Alhamdulillah, sekarang saya punya penghasilan sendiri. Bisa juga bantu-bantu ibu dan saudara.” Ujar bu Lilis bangga.
Berikutnya Bu Lilis mulai belajar memasarkan produk dagangannya secara online. Belajar menggunakan Whatsapp bisnis dan juga pasar online yang lebih besar. “Dulu tak pernah terbayangkan bisa seperti sekarang, punya usaha sendiri, menjadi bagian dari komunitas perempuan dan menjadi contoh bagi anak-anak bahwa tidak ada yang tidak mungkin. Masa depan mereka ada di tangan saya, dan saya siap memaksimalkan yang saya miliki demi mereka.”