Diterbitkan pada | Senin, 03 Agustus 2020
Partisipasin dan Aspirasi Publik Diabaikan dalam Proses Legislasi
Wakil Ketua DPR, Fadli Zon, dalam pidatonya 17 Mei lalu berjanji hendak menyelesaikan 9 RUU dalam masa sidang V tahun 2016. Dalam renstranya DPR juga berambisi untuk menjadi parlemen yang modern: terbuka, menggunakan teknologi informasi dan lebih representatif. Akan tetapi, hingga masa sidang berakhir, target dan ambisi tersebut jauh panggang dari api.
(Jakarta 28/7) – Masa sidang V berakhir.DPR mengesahkan UU Pilkada, UU Pengampunan Pajak dan UU Paten. Sepertiga dari target yang dijanjikan pada awal masa sidang,9 RUU.Dua dari tiga UU tersebut dinilai bermasalah secara prosedur: tertutup dan tidak representatif.
Masa sidang V mulai 17 Mei s/d 28 Juli 2016. Ada sekitar 43 hari kerja bagi DPR untuk menyelesaikan 9 RUU.Dengan jumlah 11 Komisi, DPR harusnya bisa menyelesaikan target legislasi. Namun, faktanya porsi pembahasan APBN-P lebih banyak bagi Komisi dibandingkan legislasi. Kondisi ini tidak diperhitungkan oleh DPR di awal masa sidang.DPR kurang efektif dalam bekerja dan member kesan mengikuti ritme pemerintah dalam menentukan agenda.
Sepanjang Masa Sidang V 2016, Indonesian Parliamentary Center (IPC) memantau pembahasan 4 RUU: RUU Migas, RUU Minerba, RUU Pilkada dan RUU Tax Amnetsy. Berikut merupakan temuan dari proses tersebut. Berikut temuan-temuannya:
Terdapat 48 sidang diselengarakan untuk membahas 4 RUU tersebut.31 diantaranya dilaksanakan secara tertutup. 27 diantaranya dilaksanakan di luar gedung DPR.
Lima puluh persen lebih rapat tertutup menunjukkan bahwa DPR berkecenderungan membelakangi publik dalam membahas urusan-urusan publik.
Dalam pembahasan RUU Pengampunan Pajak, dari 33 sidang yang hanya 10 yang terbuka untuk penjaringan aspirasi publik, 23 sisanya diselenggarakan secara tertutup dan dilaksanakan di luar gedung DPR. Sementara UU Pilkada dari 7 kali rapat pembahasan, 5 diantaranya tertutup dan 2 kali diselenggarakan di luar gedung DPR. Sementara RUU Migas dan RUU Minerba, seluruh rapatnya bersifat tertutup.
Secara hukum Pimpinan Komisi II, Komisi VII dan Komisi XI tidak patuh terhadap ketentuan pasal 229 UU MD3. Dalam pasal tersebut menyebutkan bahwa prinsip dasar rapat DPR adalah terbuka kecuali rapat tertentu yang dinyatakan tertutup. “Tertentu” bukan berarti ditafsirkan secara bebas oleh pimpinan sidang.Seharusnya ada rujukan hukum untuk member kepastian bagi publik, misalnya Pasal 14 UU KIP tentang pengecualian informasi.
Penafsiran sepihak oleh anggota DPR terhadap rapat tertutup tidak membuka ruang partisipasi dan berpotensi menimbulkan ketidakpuasan publik.Terlebih,UU Pilkada dan UU Pengampunan Pajak berpotensi menimbulkan perhatian yang kuat dari publik karena banyak kepentingan di dalamnya.
Selain rapat yang tertutup, akses publik yang dibuka terhadap dokumen hasil pembahasan RUU juga terbatas.
Sedikitnya ruang partisipasi masyarakat diindikasikan dengan dua hal: pertama rapat yang tertutup, kedua forum konsultasi publik yang tidak massif yang hanya mengandalkan RDPU semata .
Dari grafik di atas dapat dilihat hanya satu komunitas masyarakat sipil yang dilibatkan oleh Komisi XII sebagai kelompok kepentingan. Sisanya adalah kelompok akademisi dan stakeholder pelaksana UU. RUU Pengampunan Pajak dibahas dalam kurun waktu dua bulan dan marathon tanpa putus.
Pihak yang dilibatkan dalam pembahasan RUU pilkada adalah para pelaksana UU Pilkada.Dibahas dalam kurun waktu 20 hari kerja efektif, 10 hari kerja pada masa sidang IV dan 10 hari kerja pada masa sidang IV.
Sementara RUU Migas dan RUU Minerba masih melibatkan pihak secara terbatas, mitra dari pemerintah karena masih dalam masa perumusan RUU oleh DPR.Tapi, bukankah masa perumusan seharusnyadibuka ruang seluas-luasnya untuk menjaring aspirasi masyarakat?
Proses singkat dalam pembahasan UU Pilkada dan UU Pengampunan Pajak berbanding terbalik dengan proses Penyusunan RUU Migas dan Minerba. Dari berbagai informasi yang dihimpun IPC proses penyusunan terkesan lambat, hal ini disebabkan karena ada faktor selubung kepentingan yang sengaja memperkuat status quo.
DPR tidak representatif dalam membahas RUU.Tak heran begitu UU disahkan, sejumlah kelompok kepentingan, bahkan stakeholder pelaksana UU mengajukan Gugatan Judicial Review(JR) ke MK.
UU | Gugatan atau Rencana GugatanJudicial Reveiw | Pengaju Gugatan | Materi Gugatan |
UU Pilkada | 3 Gugatan | 1.Komisi PemilihanUmum (KPU RI). Statement oleh Ida Budhiati Komisioner KPU
2.Perkumpulan Teman Ahok, Gerakan Nasional Calon Independen (GNCI), Dan Kebangkitan Indonesia Baru (KIB) difasilitasi GNCI.
3.Perludem dan ICW | Konsultasi KPU dengan DPR yang bersifat mengikat dalam proses pembentukan aturan
Verifikasi calon independen
Legalisasi politik uang |
UU Pengampunan Pajak | 2 Gugatan yang sudah didaftarkan ke MK | 1.Yayasan SatuKeadilan (YSK) dan Serikat Perjuangan Rakyat Indoenesia (SPRI). Pendaftran 18 Juli 2016
2. Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI). Statement media oleh Said Iqbal (Presiden KSPI) Pendaftaran 22 Juli 2016 | UU Pajak dinilai tidak adil secara keseluruhan |
Tabel 1. Gugatan dan Rencana Gugatan Judicial Review terhadap UU Pilkada dan UU Pengampunan Pajak
Berdasarkan evaluasi di atas, Koalisi Masyarakat Sipil untuk UU MD3 mendesak kepada DPR untuk
Kontak Person
Koalisi Masyarakat Sipil untuk UU MD3 Indonesian Parliamentary Center (IPC), Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Komite Pemantau Legislatif (KOPEL), Indonesia Budget Center (IBC), Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA), Yayasan Penguatan Partisipasi, Inisiatif dan Kemitraan Masyarakat Indonesia (YAPPIKA), Indonesia Corruption Watch (ICW), Transparency International Indonesia (TII), Sindikasi Pemilu dan Demokrasi (SPD), Perhimpunan Pemilu dan Demokrasi (Perludem). |