Diterbitkan pada | Selasa, 13 Desember 2022
Kenangan bencana tsunami masih bersemayam kuat dalam memori Jeni. Saat itu usianya baru 13 tahun, masih kelas 6 SD. Masih terbayang hiruk pikuk orang berlarian menyelamatkan diri, teriakan dan tangisan disaat yang bersamaan. Jeni ketakutan dan ikut berlari ke arah yang lebih tinggi untuk menyelamatkan diri. Malam yang awalnya tenang dan cerah dengan cahaya bulan berubah mencekam. Dalam keadaan lapar dan pakaian hanya yang melekat di badan Jeni menunggu pagi berharap besok hari semua ini usai dan aktifitas kembali normal.
Setelah beberapa hari di tempat pengungsian, sudah berdiri dapur umum yang memastikan semua orang kenyang dan juga datang pakaian yang bisa mengganti baju yang berkali-kali basah kering di badan, Jeni turun ke arah rumah berharap bisa istirahat yang layak, tapi ternyata rumah sederhana tempat Jeni dan seluruh keluarga berteduh dari teriknya siang dan dinginnya malam hanya tinggal pondasi. Rumah beserta isinya hilang tak berbekas, tersapu Tsunami.
Empat tahun setelah tsunami Jeni mencoba menakar dan menyusun rencana hidupnya. Walaupun masih dalam fase menjadi dewasa baru. Dari pengalaman dan pengamatan Jeni sejauh ini ada beberapa skenario yang bisa ditempuh.
Skenario pertama. Menikah. Mayoritas gadis di kampungnya menikah muda. Itu bukan cerita baru. Ada yang tamat SD sudah dijodohkan orang tuanya dengan bujang yang ada di kampung. Tak jarang, suami mereka dari kampung tetangga. Bahkan ibu dan kakak-kakak Jeni menempuh jalur hidup yang sama, menjadi ibu diusia muda dan sesudahnya perjuangan hidup tanpa henti dan selalu mengikuti siklus yang sama. Bukan ini jalur yang dia mau.
Skenario kedua, mencoba mengadu nasib ke kota. Dengan bekal tamatan SMP, tidak banyak pilihan yang bisa diambil Jeni. Jadi pekerja rumah tangga atau pengasuh anak sudah Jeni coba. Kurangnya pengalaman dan kerasnya kehidupan kota ternyata membuat Jeni kembali pulang ke Kampung Paniis Desa Taman Jaya. Saat itu Jeni seolah menerima suratan seperti layaknya perempuan di kampungnya, menikah, punya anak dan setiap hari menjadi perjuangan untuk bisa makan dan hidup seadanya.
Sampai suatu hari, Jeni berkenalan dengan program yang diusung oleh PATTIRO Banten dan YAPPIKA- ActionAid. Awalnya Jeni tidak terlalu tertarik, karena merasa tidak bisa apa-apa dan kungkungan rasa rendah diri. Setelah mendengar penjelasan tetangganya, Jeni memberanikan diri.
Mengikuti semua workshop, kelas diskusi dan seluruh kegiatan yang diadakan. Tak butuh waktu lama, dari semua aktifitas itu seolah tabir gelap yang memisahkan Jeni dengan hari depannya sirna. Semuanya kelihatan terang benderang dan terbuka pilihan lain untuk skenario hidup yang siap diambil.
Keterlibatan dalam penelitian tentang pernikahan anak usia dini yang dilakukan bersama remaja lain dan, pemahaman akan pentingnya nilai diri, kepercayaan dan menyayangi diri sendiri membuat yang sekarang dimiliki Jeni jadi tidak cukup lagi.
Jeni mengerti resiko apa saja yang mungkin terjadi jika perempuan yang belum matang secara fisik dan mental berumah tangga.
Tidak hanya kedua belah pihak tidak paham hak dan kewajibannya, pernikahan dini juga rentan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Saat ini Jeni aktif merangkul remaja putri di Desa Tamanjaya untuk lebih peduli dengan diri sendiri, mengajak mereka untuk menggali potensi dan pengembangan diri.
Cita cita yang terkubur lama menyeruak tak terkekang. Jeni harus jadi seseorang.
“Menjadi guru adalah impian terpendam yang dulu Jeni anggap tak tergapai. Sekarang Jeni mau sekolah lagi, mau melanjutkan ke SMA,” ungkapnya. Dan pilihan skenario hidup ketiga terpeta di depan mata lengkap dengan langkah-langkahnya.
Rencana terdekat Jeni adalah ingin meneruskan pendidikannya yang terhenti di bangku SMP. Kini, Jeni giat mencari informasi tentang beasiswa atau sekolah gratis lainnya karena saat ini Jeni hanya bisa mengandalkan diri sendiri. “Berat rasanya kalau harus membebani ibu yang sudah sepuh setelah ayah Jeni berpulang bulan puasa lalu,” ujarnya. Sambil terus memahamkan teman-teman remaja dikampungnya lewat forum remaja, dan belajar keterampilan dengan ibu-ibu hebat yang tergabung dalam kegiatan Rompok Awewe, Jeni menjadi salah satu agen perubah yang akan menciptakan kesadaran baru bahwa perempuan juga bisa berdaya, punya kekutan dan menjadi mitra handal bagi pria dalam menciptakah kehidupan bersama yang harmonis.
Jeni paham bahwa pendidikan yang terputus harus dianyam kembali. Tak ada lagi yang bisa menghalanginya. “Jeni pernah ikut berdiskusi dengan bapak kadis, menyampaikan bahwa remaja di Tamanjaya sulit untuk mendapatkan pendidikan hingga jenjang SMA karena jalan rusak, pak kadis ingin membantu. Jeni juga ingin sekolah lagi dan banyak dukungan untuk sekolah gratis, tapi Jeni masih berpikir mengenai buku dan ongkos menuju ke sekolah,” ungkap remaja 17 tahun yang tak pernah patah arang ini.