Diterbitkan pada | Senin, 22 Mei 2023
Memperingati Hari Kebangkitan Nasional dan 25 Tahun Reformasi, kali ini mari kita simak wawancara singkat "Apa Makna Kebangkitan Nasional?" bersama dengan Hendrik Rosdinar, Head of Program YAPPIKA-ActionAid.
Sudah berapa lama kamu aktif dalam kerja-kerja di area masyarakat sipil?
Lebih dari 15 tahun saya terlibat dalam kerja advokasi dan pemberdayaan masyarakat, kerja-kerja ini sesuai dengan pemikiran saya bahwa anak muda bisa terlibat aktif dalam perubahan kebijakan. Banyak hal di akar rumput hingga kebijakan belum sesuai yang seharusnya dituju negara ini, kesenjangan sosial masih tinggi misalnya kesenjangan kualitas pendidikan dan kesehatan ditambah saat itu semangat reformasi masih terasa. Agenda-agenda reformasi juga menuntut kita berkarya secara konkrit melalui reformasi birokrasi, reformasi pelayanan publik, peningkatan pemberdayaan di masyarakat, dan sebagainya. Melalui kesadaran kritis ini saya menikmati dan yakin dapat berkarya di sini.
Nilai-nilai kebangkitan nasional apa yang bisa diadopsi dalam kerja-kerja
di YAPPIKA-ActionAid?
Kalau kita tilik dalam sejarah, kebangkitan nasional ini
sebagai mile stone menandakan semangat
nasionalisme tumbuh, merupakan awal terbentuknya Budi Utomo. Suatu momentum
untuk mengingatkan kita untuk
memperingati bahwa sekelompok anak muda terpelajar memiliki semangat
untuk mendorong suatu perubahan melalui membangkitkan semangat cinta Indonesia meningkatkan
semangat perlawanan melalui gerakan pembaharuan yang dipimpin anak muda.
Saya rasa peran-peran ini jika ditarik di masa sekarang,
peran-peran ini bisa dilakukan anak muda termasuk pegiat masyarakat sipil harus
terus menerus menjaga dan memupuk semangat pembaharuan dan perlawanan yang didasari rasa nasionalisme
terhadap Indonesia.
Nasionalisme di sini jangan sampai dimaknai secara sempit
bahwa ketika cinta Indonesia, tidak boleh mengkritik bangsa sendiri. Kritik itu
justru menjaga bahwa pembangunan Indonesia tetap pada rel yang benar sesuai
tujuan kemerdekaan. Saya rasa setiap
zaman akan menemukan momentum perubahan dan sejarah membuktikan ini dimotori
oleh anak muda.
Tahapan-tahapan pertumbuhan nasionalisme di Indonesia pada tahun 1908, 1928, Peristiwa
Malari hingga reformasi 1998, saya katakan sebagai bentuk kebangkitan nasional.
Sebelumnya kita melawan penjajahan, sekarang kita melawan otoritarianisme
maupun oligarki. Paska 1998 semangat-semangat itu mulai tumbuh lagi.
Kita harus menemukan bentuk perlawanan (LAGI)
Saya yakin aktif di arena masyarakat sipil, sejak saya diajak
seorang kawan untuk berdiskusi tentang potensi korupsi anggaran dalam pelayanan
publik. Saya langsung tertarik, ini arena yang tepat karena kegelisahan saya terkait ketimpangan sosial dapat terfasilitasi.
Mungkin kegelisahan ini sama dengan anak muda saat itu untuk melawan penjajahan,
mereka berkonsolidasi membentuk
organisasi, menyusun rencana rencana aksi.
Kebangkitan Nasional dapat dimaknai dengan kita harus
menumbuhkan rasa nasionalisme untuk terus menumbuhkan rasa perlawanan terhadap ketidakadilan, bisa dilakukan dalam
lingkup terkecil hingga terbesar. Jadi, tidak nasionalis ketika membiarkan
korupsi terus terjadi!
Dalam momen kebangkitan nasional, ada nilai-nilai yang harus
kita tangkap, kebangkitan nasional tidak bisa terjadi tanpa semangat toleransi.
Kita tidak bisa hanya kita yang berpikir bahwa hanya kita yang mampu, kita
memerlukan kelompok anak muda lain dari berbagai suku, agama, ras, daerah
sehingga dapat melawan penjajahan. Intinya kebangkitan nasional tanpa
mengedepankan nilai tolerasi dan kebersamaan tidak dapat terwujud, tercatat dalam
sejarah yang dilakukan saat itu adalah kolaborasi antar pihak, semangat itu
sangat relevan sampai saat ini.
Dimana ada
tantangan intoleransi itu, pandangan-pandangan
sempit tentang nasionalisme yang justru dekat dengan chauvinisme. *Chauvinisme
adalah sikap fanatisme terhadap suatu keyakinan atau idealisme tertentu.
Adakah pembelajaran dari lapangan terkait semagat kebangkitan nasional?
Tentunya semangat itu nyata dan ada! Misalnya sekelompok perempuan dan anak muda bersama mencegah terjadinya
korupsi dalam pembangunan infrastuktur di daerahnya, kemudian mereka mengawasi
dan menemukan penyimpangan dan melakukan advokasi. Kerjasama ini tidak dapat
tercapai bila tidak kolaborasi dan toleransi. Di sini ada kolaborasi dari anak
muda yang punya kemampuan teknik sipil, ada perhatian dari ibu-ibu dan bapak-bapak,
mereka semua berkolaborasi melakukan audit sosial.
Pernah saya menyaksikan sendiri sekelompok anak muda di suatu
daerah, merasa gelisah tentang pembangunan di wilayahnya yang menurut mereka
tidak melibatkan anak muda. Mereka mencari cara agar mereka bisa berpartisipasi.
Kalau mereka menunggu diundang tentu akan butuh waktu lama, maka mereka mencari
cara bagaimana menarik perhatian dan aspirasi mereka tersampaikan. Mereka melakukan survei terhadap fasilitas di
daerahnya, mereka mewawancara anak muda mengenai keterlibatan kaum muda dalam
pembangunan, hingga mereka menemukan bukti yang cukup baik dan dibawa ke forum
konsultasi di DPRD dan pemerintah kabupaten. Akhirnya pemda mengabulkan
beberapa aspirasi mereka begitu.
Dalam program YAPPIKA mengenai literasi, relawan-relawan
YAPPIKA di Jakarta Timur hingga Sulawesi Selatan secara rutin memberikan
pelajaran membaca, menulis, dan menghitung ke para ibu yang tuna aksara.
Hasilnya para ibu ini dapat membaca serta memahami berbagai hak mereka.
Apa yang dapat dilakukan anak muda sekarang untuk terus melestarikan
nilai kebangkitan nasional?
Hal yang terpenting adalah menyenangi untuk mengenal Indonesia
lebih dalam, di tengah arus informasi global yang tak terhindarkan. Hal yang
harus terus kita latih adalah bagaimana kita terus menyenangi untuk mengenal Indonesia,
bagaimana untuk terus menjaga nilai toleransi dan berkolaborasi untuk berkarya
dengan apapun potensi yang kita miliki.
Ditulis oleh Gabrella Sabrina (Communication Officer, YAPPIKA-ActionAid)