Merintis Koperasi Paguyuban Perempuan

Diterbitkan pada | Senin, 19 September 2022


“Perkenalkan, saya Fika. Seorang ibu dengan 2 orang putri. Saat ini saya tinggal di Desa Sumberjaya, Kecamatan Sumur, Kabupaten Pandeglang. Saya dan suami sebenarnya bukan penduduk asli sini. Pekerjaan dan perjalanan yang membuat kami memutuskan untuk berjuang bersama dan membentuk keluarga di desa pinggir pantai ini,” jelas Fika. 

Pada awalnya semuanya berjalan baik. Fika beserta suami bekerja dan semua aktivitas berjalan sesuai dengan harapan. Sampai pada suatu saat diakhir tahun 2018, bencana Tsunami melanda dan Kecamatan Sumur merupakan salah satu yang terdampak parah. “Saat kejadian saya sedang menjaga adik yang dirawat di rumah sakit, suami sedang bertugas berjaga di Pulau Umang bersama 5 temannya dan anak saya sendirian di rumah. Membayangkan kejadian dan berada jauh dari rumah membuat saya gelisah, gundah tidak bisa tenang, suami dan anak tidak bisa dihubungi, tidak ada sinyal,” ungkapnya.

“Alhamdulillah semua warga kampung berhasil selamat, tak ada satu pun korban jiwa. Anak saya juga selamat dan membantu seorang ibu berlindung di tempat yang lebih tinggi. Suami saya terluka, kakinya tertusuk besi saat terombang ambing di laut, dan diselamatkan nelayan keesokan harinya. Butuh waktu 3 bulan untuk pemulihan fisiknya dan lebih lama untuk mengumpulkan keberanian agar bisa kembali beraktivitas seperti sebelumnya. Sampai saat ini, dia masih mengalami shock kalau mendengar suara keras. Hati kami remuk redam saat turun ke kampung. Semua yang kami punyan lenyap dalam waktu semalam. Pikiran kami kalut, hendak berteduh dimana kami ini?” cerita Fika dengan lugas mengenai pengalamannya menjadi penyintas bencana. 


Namun itu semua cerita lalu, mau tidak mau kita harus menatap kedepan dan bersahabat dan berusaha sembuh dari rasa kehilangan yang hebat tersebut. Program kolaborasi PATTIRO Banten dan YAPPIKA-ActionAid membantu pemulihan. “Kami banyak mendapat ilmu yang bermanfaat dan belajar hal-hal baru yang belum pernah kami temui sebelumnya, seperti bagaimana hidup lebih baik di daerah rawan bencana, mempersiapkan tas siaga yang selalu siap sedia saat diperlukan, bagaimana mengendalikan diri saat menghadapi bencana, lebih mengenal alam sekitar, menyusun dokumen kajian resiko bencana desa, kemudian disampaikan ke pemerintahan desa sampai kabupaten. Dokumen ini dapat diadopsi dalam perencanaan dan anggaran desa,” jelas Fika mengenai program kesiap siagaan bencana yang diikutinya. “Namun perubahan terbesar ada dalam diri saya, sekarang saya melihat banyak peluang dan mengeluarkan kemampuan terdalam yang saya tidak pernah tahu kalau saya memilikinya".  

"Awalnya saya bergabung dengan komunitas Anyelir, kelompok ibu-ibu yang memproduksi makanan ringan. Selanjutnya beberapa komunitas yang ada di sini membentuk Koperasi Paguyuban Perempuan Sumberjaya. Saya bersama Ibu Siti Maspupah menjadi pengurus dan mengelola koperasi ini,” jelas Fika mengenai awal mula koperasi inisiasi perempuan desanya. 


“Menjadi Ketua Koperasi Paguyuban Perempuan Sumberjaya, memaksa kami untuk mempelajari banyak hal yang berkaitan dengan koperasi seperti pembukuan, pengelolaan keuangan, studi kelayakan usaha dan membantu pengurusan izin usaha anggota koperasi. Pada awal pembentukan kami berhasil menumpulkan dana sebesar Rp.500.000 dan sampai saat ini setelah 3 bulan terbentuk dana yang diputar telah meningkat menjadi hampir 10 kali lipat,” ujar Fika. 

Pembentukan Koperasi Paguyuban Perempuan Desa Sumberjaya makin memperkuat kerjasama dan komunitas yang sedang dirintis ini. Koperasi ini menghimpun simpanan pokok dan simpanan wajib dari anggota, dan dana yang terkumpul kemudian dikelola dan dimanfaatkan oleh anggota. “Dengan adanya koperasi ini anggota merasa sangat terbantu jika mereka butuh modal untuk usaha dan keperluan mendesak lainnya. Ini menjadi alternatif yang menenangkan, karena sebelum ada koperasi jika butuh dana mendesak, masyarakat memanfaatkan jasa rentenir yang tentu saja bunganya sangat mencekik. Padahal ibu-ibu pengusaha kecil kadang butuh dana kecil untuk memulai usaha, hanya sekitar 100-200 ribu rupiah,” jelas Fika dengan tatapan bangga penuh harapan.


“Namun masih ada tantangan yang saat ini kami hadapi antara lain masih kurangnya kesadaran warga akan tanggap bencana, sehingga sulit menerapkan rasa kewaspadaan pada mereka, kentalnya budaya patriaki, rendahnya respon aparat desa, kurangnya keberanian warga dalam mengekspresikan diri baik dalam menyalurkan ide, gagasan atau bahkan penanganan masalah kekerasan dalam rumah tangga yang kerap terjadi. Untuk menghadapi tantangan tersebut, kami focal point perempuan Desa Sumberjaya selalu memberikan penyuluhan dan informasi tentang isu-isu yang menjadi permasalahan di sini,” jelasnya.


“Saat ini saya dan banyak keluarga lain masih tinggal di Huntap (Hunian Tetap) perumahan yang dibangun untuk korban tsunami. Keuntungannya, kami mudah berkoordinasi karena tidak  terkendala jarak. Di huntap ini juga sudah tersedia Rompok Awewe (bahasa Sunda dari pondok perempuan) merupakan rumah aman perempuan sebagai tempat para perempuan untuk memberdayakan dirinya yang disponsori oleh PATTIRO Banten & YAPPIKA-ActionAid. Juga untuk meningkatkan kreativitas dan kapasitas para perempuan melalui berbagai kegiatan yang dilaksanakan untuk mengisi waktu luang dengan kegiatan bermanfaat termasuk koperasi Paguyuban Perempuan Desa Sumberjaya yang saya pimpin,” jelas Fika menutup pembicaraan kami sore itu.