Ternyata Akhir Bahagia Itu Ada

Diterbitkan pada | Jumat, 12 Agustus 2022


Nama saya Nur, udah itu saja. Nur begitu nama di Kartu Tanda Penduduknya. Setelah lulus sekolah dasar, orang tua langsung menjodohkan saya, mau gimana lagi, saat itu memang seperti itu.” 

Usianya masih terlihat muda, perempuan berusia 42 tahun yang tinggal di Kampung Paniis, Desa Tamanjaya, Kabupaten Pandeglang, Banten ini telah  memiliki  anak berusia 26 tahun. Pembawaannya ceria, bicaranya lugas dan hangat, karena Bu Nur adalah sosok orang yang berani mentertawakan diri sendiri. Ketika kami berbincang saat itu, tanpa beban Bu Nur bercerita derita saat tsunami. “Saat itu sehari semalam kita tidak makan. Setelah kondisi dianggap aman, bapak-bapak turun ke bawah meninjau kampung. Saat balik ke atas mereka membawa makanan-makanan yang dipungut, mungkin dari warung yang hancur diterjang tsunami. Ada mie instan yang kemasannya sudah penyok, ada makanan kecil jajanan anak-anak, apa saja yang dikira masih aman, kita makan.”  

Bukan hanya kehilangan separuh rumah dan semua isinya hanyut terbawa air, Bu Nur juga harus mengetahui di malam itu kalau suaminya sudah mendua dengan perempuan dari kampung sebelah. “Sedikitpun saya tidak pernah menduga dia akan berpaling. Saya merasa semuanya baik-baik saja,” kenang Bu Nur. Setelah mengetahui berita perselingkuhan itu, Bu Nur tidak melakukan protes apapun. “Ada 3 anak yang harus saya besarkan, rumah juga kondisinya menyedihkan setelah tsunami, kalau saya mempertanyakan dia dan dicerai saat itu bagaimana nasib saya dan anak-anak?” Bu Nur mencoba berkepala dingin. Dia mengabaikan rasa sedih, luka dan kecewa karena pengkhianatan demi memaksa suaminya untuk memperbaiki rumah mereka sampai bisa ditempati kembali. 

“Saya telan saja semua sakit itu, yang penting ada atap di atas kepala kami untuk berlindung.” Walaupun jejak-jejak penghianatan itu makin jelas di depan mata. 

“Ada gula dan ikan sarden kalengan bantuan untuk korban tsunami yang saya simpan, tiba-tiba hilang, Ada paket makanan juga menghilang. Dia bawa untuk istri mudanya,” lanjut Bu Nur bercerita. “Tetap saya tahan, asal rumahnya jadi utuh kembali”. Tidak banyak kita temui, wanita yang berkepala dingin seperti Bu Nur. Bencana membuatnya bertahan dari kekerasan mental dalam rumah tangganya.  Tak ingin dia menangis meratapi perlakuan suami yang makin terang benderang. Fokusnya tetap kesejahteraan anak.

Setelah resmi berpisah dengan suami, Bu Nur mengadu nasib ke kota, bekerja menjadi pekerja rumah tangga. Hanya bisa bertahan selama 4 bulan, karena berat meninggalkan anak-anak sendirian. Sekembalinya ke Desa Tamanjaya Bu Nur bekerja apapun untuk mencari nafkah, dan sangat terbantu dengan adanya bantuan sosial PKH (Program Keluarga Harapan) dari pemerintah. Namun perubahan yang paling signifikan yang menjadikan Bu Nur berdaya adalah setelah mengikuti berbagai pelatihan dan program pemberdayaan. 

“Saya jadi punya wadah untuk bersosialisasi. Berkumpul dengan forum perempuan jadi punya tujuan yang jelas, tidak ada lagi kumpul-kumpul mengandung  gibah.”

Pengalaman mendapatkan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dan dikhianati di masa lalu, membuat perempuanperempuan lain yang bernasib mirip, datang dan konsultasi kepada Bu Nur. “Pernah ada yang minta dijemput jam 10 malam, kondisinya lebam-lebam, pendengaraan terganggu dan pusing setelah dipukul suaminya di daerah hidung. Kalau dulu permasalahan ini gak ada yang membantu, tetapi sekarang, setelah lapor ke saya, nanti akan ada tindakan lanjutannya.”

Penanganan KDRT antara suami-istri yang saat ini berlaku di Desa Tamanjaya tahapannya dimulai dari penerimaan laporan, biasanya dari korban, kemudian keduanya lalu didudukkan bersama-sama, dimediasi oleh pejabat terkait. Kebanyakan kasus seperti ini berujung damai, dengan kesepakatan tertulis antara pelaku dan korban. Namun ada juga yang berakhir dengan kesepakatan perceraian. 

“Umumnya kejadian KDRT terjadi karena alasan ekonomi. Tidak punya uang membuat gampang emosi. Apalagi kalau musim angin barat, nelayan lebih susah untuk melaut, kalaupun bisa hasilnya tidak seberapa,” jelas Bu Nur lebih lanjut. Untuk mengatasi permasalahan itu, bersama ibu-ibu yang tergabung dalam Paguyuban Perempuan Kampung Paniis melakukan aktifitas yang produktif. Salah satu kegiatan yang sekarang sedang digalakkan adalah Kebun Edukasi. Kebun Edukasi merupakan sebuah upaya dalam rangka ketahanan pangan. Ibu-ibu bercocok tanam bersamasama yang hasilnya bisa untuk memenuhi kebutuhan pangan terutama sayuran bagi keluarganya, jika hasilnya berlebih, bisa dijual atau barter dengan produk lain. 

“Kebun Edukasi adalah salah satu usaha untuk meringankan beban ekonomi keluarga. Karena seperti dijelaskan di atas, ekonomi menjadi sebab musabab seorang suami melakukan KDRT terhadap istrinya. Dengan usaha bersama di kebun edukasi ini, mudah-mudahan beban ekonomi itu berkurang, dan ibu-ibu ini makin bisa berdaya”, Bu Nur menjelaskan.

“Kalau ditanya perubahan apa yang saya rasakan, jawabannya sekarang saya bahagia.” Tegas bu Nur. Iya, Bu Bur telah menikah lagi dan membina hidup baru. 

“Suami saya mendukung semua aktivitas saya. Anak-anak tercukupi kebutuhannya dan bersama ibu-ibu Kampung Paniis, kami berjuang bersama meningkatkan ekonomi keluarga. Itu saja sudah cukup, itu benarbenar membuat saya bahagia.”