Keabsahan Undang-Undang Ketika Menteri Tidak Lapor Presiden — Koalisi Masyarakat Sipil Tolak UU MD3

Diterbitkan pada | Senin, 03 Agustus 2020

Koalisi masyarakat sipil tolak UU MD3 (UU No 2 Tahun 2018) melakukan judusial review (JR) kepada MK. Terhadap UU hasil revisi ini sedikitnya sembilan permohonan uji materil telah diterima MK, hal ini sebagai respon publik terhadap hasil revisi UU MD3 karena munculnya pasal kontroversi (Pasal 73 ayat (2), Pasal 245, Pasal 122 huruf l ) dan juga cacat proses pembahasan. Perbedaan JR yang dilakukan oleh koalisi adalah tidak hanya pengujian secara materil saja namun juga melakukan pengujian secara formil terhadap proses revisi UU MD3 yang tak sesuai prosedur pembentukan peraturan perundang-undangan.

Proses pembahasan Revisi UU MD3 Cacat Formil. Secara konstitusional, kewenangan pembentukan UU berada ditangan Presiden dan DPR. Hal ini dikuatkan melalui Pasal 5 ayat (1) UUD 1945, Presiden berhak mengajukan RUU kepada DPR. Begitu pula proses dalam pembahasan dilakukan oleh Presiden bersama dengan DPR. Namun mengingat padatnya tugas dan kewenangan Presiden selaku kepala pemerintahan dan kepala negara, maka dalam proses pembahasan suatu RUU, memungkinkan bagi Presiden menugaskan menteri untuk mewakilinya sebagaimana bunyi pasal 49 UU No 12 tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundangundangan.

Pelimpahan tugas ini bentuk pemberian mandat dari Presiden kepada menteri selaku pembantunya dengan prinsip tanggung gugat dan tanggung jawab tetap barada pada si pemberi mandat/Presiden. Oleh karena itu, dalam suatu pembahasan hingga proses “persetujuan bersama“ yang dilakukan dalam revisi suatu RUU, Menteri harus bertindak atas kesesuaian kehendak si pemberi mandat/ Presiden. Hal ini merupakan bentuk pertanggung jawaban yang melekat pada Presiden selaku pemilik kewenangan dan juga tertib Menteri sebagai pembantu Presiden yang memiliki batasan dalam melakukan arahan, petunjuk dan instruksi dari Presiden.

Namun, sikap yang ditunjukkan oleh menteri Hukum dan Ham (Yasonna Laoly) dalam proses revisi UU MD3 dengan memberikan persetujuan tanpa didahului laporan/ persetujuan sikap dari Presiden jelas melampaui kapasitas dan kewenangan. Ketidaksesuai sikap menteri dengan arahan Presiden, terkonfirmasi dengan tidak di tandatangani nya UU MD3 hasil revisi. Sikap menteri ini jelas penyelewenangan atas pelaksanaan mandat yang diberikan. Berdasarkan itu, jelas proses revisi UU MD3 ini tidak memenuhi ketentuan konstitusional dan prosedur pembentukan peraturan perundang-undangan sehingga menjadi cacat formil, menjadikan UU hasil revisi ini tidak sah. Oleh karena nya, koalisi masyarakat sipil melakukan uji formil dan materil terhadap UU No 2 tahun 2018 tentang MD3, agar MK dapat membuktikan dalam proses persidangan telah terjadi cacat formil dan adanya inkonstitusionalitas pasal- pasal yang termuat dalam UU A quo, sehingga pemberlakukan UU ini dapat dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. jika petitium ini dikabulkan, maka uu no 2/2018 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, dan agar tidak terjadi kekosongan hukum maka dihidupkan lagi UU MD 3 yang sebelumnya.

Tag :