Diterbitkan pada | Rabu, 02 Juli 2025
Pada 18–20 Juni 2025, 19 akademisi dari berbagai kampus di Indonesia—mulai dari Aceh hingga Papua—bertemu dalam Training of Trainer (ToT) Kolaborator yang diselenggarakan oleh YAPPIKA bersama SEPAHAM Indonesia. Bukan sekadar pelatihan, momen ini menjadi ruang pertukaran gagasan lintas universitas untuk menyusun strategi memperkuat peran pendidikan tinggi dalam mendukung ruang sipil yang aman, terbuka, dan demokratis. Kegiatan ini merupakan bagian dari Program BASIS (Building Enabling Environment and Strong Civil Society in Indonesia), sebuah inisiatif yang didukung oleh Uni Eropa untuk mendorong kerja sama lintas sektor demi memperkuat demokrasi di Indonesia.
ToT Kolaborator adalah kegiatan intensif bagi para akademisi yang dipilih menjadi Kolaborator—pendamping bagi mahasiswa dalam mengakses dan memanfaatkan platform e-Learning Civil Society and Democracy Program (CSD), ruang belajar digital tentang demokrasi, hak asasi manusia (HAM), dan kebebasan sipil. Sebagai Kolaborator, peran mereka tidak hanya sebatas membersamai, tapi juga menjadi fasilitator dan penggerak yang mendorong lahirnya inisiatif-inisiatif aksi kolektif di lingkungan kampus.
Muhamad Ananto Setiawan, Koordinator Nasional Program BASIS, menyampaikan bahwa inisiatif ini bertujuan untuk mendukung tumbuhnya masyarakat sipil yang lebih kuat dan representatif, khususnya di tingkat lokal. Kolaborasi antara YAPPIKA dan Serikat Pengajar HAM Indonesia (SEPAHAM) menjadi fondasi penting dalam merancang pendekatan yang melibatkan kampus sebagai pusat pengetahuan dan perubahan sosial.
Lebih lanjut, Ananto menekankan bahwa melalui CSD e-Learning Platform, program ini membuka akses seluas-luasnya bagi orang muda di seluruh Indonesia untuk mengakses informasi dan sumber yang dapat dipertanggung-jawabkan mengenai topik seputar demokrasi, HAM, pembangunan berkelanjutan, dan masyarakat sipil. Dengan menggandeng para akademisi dari berbagai wilayah sebagai Kolaborator, BASIS berupaya membangun ekosistem pembelajaran yang aman, inklusif dan sensitif gender, serta menghubungkan ruang akademik dengan dinamika sosial masyarakat.
Beni Kurniailahi, dosen Hukum Administrasi Negara dari Fakultas Hukum Universitas Bengkulu, turut ambil bagian sebagai Kolaborator dalam Program BASIS. Ia memandang platform ini merupakan inisiatif strategis untuk memperkuat peran pendidikan tinggi dalam mendukung gerakan masyarakat sipil. Menurutnya, keterlibatan orang muda dalam isu-isu seperti demokrasi, HAM, dan kebebasan sipil harus terus didorong, agar mereka tumbuh sebagai aktor perubahan yang kritis dan memiliki keberpihakan yang kuat pada prinsip demokrasi dan HAM.
Beni menggambarkan Kolaborator sebagai “inkubator gerakan” yang dapat menumbuhkan pemikiran progresif dan memperluas jejaring advokasi dari wilayah barat hingga timur Indonesia. Ia juga menekankan pentingnya memanfaatkan CSD e-Learning Platform sebagai medium pembelajaran yang inklusif, agar nilai-nilai aktivisme bisa menjangkau lebih banyak kalangan termasuk mahasiswa, masyarakat adat, hingga komunitas seni. Dengan melihat besarnya pengaruh pemilih muda dalam Pemilu 2024, Beni meyakini bahwa suara dan aksi generasi ini akan sangat menentukan masa depan demokrasi di Indonesia.
Lebih lanjut, setelah kegiatan pelatihan ini, para Kolaborator akan membawa CSD e-Learning Platform ke kelas, komunitas, dan ruang diskusi mahasiswa. YAPPIKA dan SEPAHAM akan terus membersamai mereka melalui koordinasi, memfasilitasi aksi mahasiswa, serta dukungan berkelanjutan. Karena demokrasi tidak lahir dari diam, dan ruang sipil tidak bisa tumbuh tanpa pengetahuan dan partisipasi.
Selama tiga hari, para kolaborator mengikuti rangkaian materi seputar pengenalan kurikulum dan modul CSD, navigasi dan penggunaan Learning Management System (LMS), strategi penjangkauan mahasiswa, analisis risiko dan mekanisme koordinasi pasca pelatihan.
Aktivisme orang muda menjadi salah satu kekuatan utama dalam mendorong tercapainya Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) di Indonesia. Melalui Program BASIS, aktivisme mereka diarahkan untuk berkontribusi langsung dalam isu-isu seperti pengurangan kemiskinan, kesetaraan gender, keadilan sosial, dan perlindungan lingkungan hidup. Berbagai bentuk ekspresi, mulai dari diskusi, kampanye kreatif, advokasi komunitas, hingga kepemimpinan perempuan, menjadi ruang bagi generasi muda untuk terlibat aktif dalam perubahan.
Aktivisme ini mendorong anak muda untuk tidak hanya menyuarakan kritik, tetapi juga menjadi bagian dari upaya bersama dalam mencari solusi, sehingga gerakan mereka dapat memberikan kontribusi nyata dalam mewujudkan masyarakat yang lebih setara, inklusif, dan berkelanjutan sesuai dengan tujuan SDGs.