Diterbitkan pada | Selasa, 04 Agustus 2020
Ranperpres Ganti Rugi: Upaya Memberikan Jaminan
Penyediaan Ganti Rugi dalam Pelayanan Publik yang Fair
Kondisi pelayanan
publik kita secara umum masih jauh dari baik. Penyelenggaraan pelayanan publik
yang tidak efektif dan efisien, kinerja aparaturnya yang buruk, tingginya
perilaku koruptif dan belum adanya standar pelayanan publik menjadi beberapa
soal yang selalu mengemuka. Keadaan yang demikian menjadikan pengguna layanan
seringkali terabaikan hak-haknya.
Sebagian pengguna
layanan yang mempunyai sumber daya lebih baik, dapat mencari alternatif
penyelenggara pelayanan (swasta) –exit strategy, tetapi bagaimana dengan warga
miskin, dan warga berkebutuhan khusus yang lebih rentan untuk terabaikan. Belum adanya mekanisme pananganan pengaduan menjadikan keadaan semakin
kusut. Warga yang tidak puas dengan penyelenggaraan pelayanan publik dan ingin
mengadu justru seringkali menjadi sasaran perilaku korup aparat penyelenggara.
Maka tidak heran jika begitu lekat istilah “ingin
menyelamatkan kambing malah kehilangan kerbau”.
UU 25/2009 tentang
Pelayanan Publik memuat subtansi yang cukup maju dan progresif, dalam konteks
pemenuhan jaminan pelayanan yang baik dan partisipasi masyarakat. UU Pelayanan
Publik memuat kewajiban adanya standar pelayanan yang partisipatif di setiap
unit penyelenggara, maklumat pelayanan, pelayanan khusus bagi kelompok berkebutuhan khusus, penyelesaian
pengaduan, lembaga pengawas independen, dan sanksi bagi penyelenggara pelayanan
publik. Salah satu bagian penting yang progresif dari UU tersebut adalah adanya
mekanisme dan ketentuan pembayaran ganti rugi. Dengan demikian, masyarakat yang
tidak puas dapat menyampaikan pengaduan dan mengajukan tuntutan ganti rugi
apabila warga mendapatkan kerugian dalam pelayanan.
Namun, pasca dua
tahun berlakunya UU Pelayanan Publik, implementasinya berjalan sangat
lambat. Hal ini terlihat, salah satunya,
dari tidak kunjung ditetapkannya Peraturan Pemerintah (PP) sebagai pelaturan
pelaksanaan Undang-undang, dan Peraturan Presiden (Perpres) tentang mekanisme
dan ketentuan pembayaran ganti rugi pelayanan publik. Padahal jika mengacu pada
UU Pelayanan Publik, maka PP dan Perpres tersebut harus sudah di tetapkan
paling lambat 6 (enam) bulan sejak diundangkan (Pasal 60, UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik).
Saat ini Pemerintah sedang
menyusun Rancangan Peraturan Presiden tentang Mekanisme dan Ketentuan
Pembayaran Ganti Rugi dalam Pelayanan Publik. Rancangan
Peraturan Presiden (Rancangan Perpres) disusun oleh Kementerian Pendayagunaan
Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. Beberapa hal yang akan diatur dalam Rancangan
Perpres tersebut adalah : 1) Definisi ganti rugi; 2) Definisi kerugian
materiel; 3) Kriteria dan tanggungjawab pembayaran ganti rugi; 4) Mekanisme dan
ketentuan pembayaran ganti rugi; 5) Penyediaan anggaran dan penentuan besaran
ganti rugi; dan 6) Pengajuan keberatan.
Jika ini dilihat
dari sisi peluang, tentunya keberadaan Rancangan Perpres tersebut sangat
strategis untuk melindungi pengguna layanan dari penyelenggaraan pelayanan yang
diskriminatif, kolutif, dan sewenang-wenang. Atau
dengan kata lain, penyelenggaraan pelayanan yang tidak sesuai dengan standar
pelayanan publik (SPP). Rancangan Perpres tersebut
merupakan instrumen untuk mendorong percepatan reformasi birokrasi, khususnya
dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang baik, berkualitas dan non
diskriminatif.
Jika dilihat dari sisi tantangan, tentunya
keberadaan Rancangan Perpres ini sudah jelas akan menjadi “sekoci” di tengah
“badai samudera” yang begitu kacau dan luas. Publik bisa jadi akan memandang Rancangan
Perpres ini begitu skeptis, dan itu wajar di tengah pembelaan terhadap hak
konsumen begitu rendah. Kasus Prita adalah cermin yang layak digunakan dan
begitu melekat ke publik, bagaimana aparat negara justru tunduk kepada
korporasi. Bukannya membela hak warganya sendiri.
Kedua sudut pandang di atas tentunya sah saja
berkembang di tengah-tengah masyarakat dalam memandang keberadaan Rancangan
Perpres Mekanisme dan Ketentuan Ganti Rugi Pelayanan Publik. Justru berangkat dari kedua sudut pandang
itulah keberadaan Rancangan Perpres ini perlu mendapatkan masukan dari kalangan
yang lebih luas terutama kelompok-kelompok pengguna layanan dan korban.
Critical Points dalam Rancangan Perpres.
Keberadaan Rancangan Perpres ini
merupakan indikasi Pemerintah cukup serius dalam mendorong reformasi birokrasi
pelayanan publik. Karena dengan adanya Rancangan Perpres ini akan mendorong penyelenggara
layanan untuk menyusun standar pelayanan publik, secara partisipatif. Dan di
sisi lain, penyelenggara layanan, beserta segenap organisasi penyelenggara dan
pelaksana layanannya bekerja seoptimal mungkin sesuai dengan standar pelayanan
publik tersebut.
Rancangan Perpres ini menjadi upaya
paksa atau koridor penjaga agar pelaksana dan organisasi penyelenggara layanan
bekerja sesuai dengan standar yang ditetapkan secara bersama.
Terhadap Rancangan Perpres tersebut,
terdapat beberapa pokok pembahasan kritis yang mesti diungkapkan, sebagai
bagian upaya untuk perbaikan dan mendorong Rancangan Perpres ini untuk lebih
baik.
1. Conflict
of interest diantara para
pihak yang bersengketa dan dalam hal tuntutan ganti rugi oleh masyarakat. Dalam UU Pelayanan Publik, pihak yang diberi
wewenang untuk menerima pengaduan, memutuskan hasil pemeriksaan, menerima
tuntutan ganti rugi, dan menetapkan jumlah ganti rugi dan batas waktu
pembayaran ada di tangan Penyelenggara. Dan hal tersebut ditegaskan kembali
dalam Rancangan Perpres tersebut, pada Pasal 3, yang menyatakan bahwa mekanisme
dan ketentuan ganti rugi yang diatur dalam Perpres hanya berlaku untuk tuntutan
ganti rugi materiel yang diputuskan oleh Penyelenggara. Kedudukan dan fungsi
rekomendasi dari Ombudsman, yang dinyatakan secara opsional dalam Pasal
sesudahnya, Pasal 12 dan 14 Rancangan Perpres menjadi tertolak.
Upaya mediasi,
konsiliasi, dan ajudikasi khusus yang dilakukan oleh Ombudsman Republik
Indonesia (ORI) menjadi sia-sia belaka. Apalagi dengan rekomendasi ORI, yang untuk
efektifitas pelaksanaan wajib membutuhkan kesepakatan dan penerimaan dari
Penyelenggara.
Situasi
perbenturan-kepentingan secara fungsional ini sangat kentara. Satu sisi,
Penyelenggara sebagai pihak yang memutuskan menerima pengaduan dan menentukan
pembayaran ganti rugi, dan di sisi lain, penyelenggara adalah pihak yang menjadi
sasaran pengaduan dari warga masyarakat.
2. Komponen penilaian besaran nilai ganti rugi. Dalam
melakukan pemeriksaan, memutuskan hasil pemeriksaan, menerima tuntutan
ganti rugi, dan menentukan jumlah besaran ganti rugi yang diberikan,
komponen-komponen dalam ganti rugi tersebut mesti telah jelas. Didalam
Rancangan Perpres hanya disebutkan dua kriteria untuk menilai kerugian
materiel; kerugian yang dapat dinilai (a). secara obyektif dan (b). nyata-nyata
dialami.
Kerugian materiel
yang nyata dan obyektif muncul disebabkan adanya kerugian yang sifatnya secara
langsung diperoleh warga masyarakat saat mendapatkan pelayanan yang tidak
sesuai dengan standar pelayanan.
Dalam Rancangan
Perpres belum ada komponen-komponen yang mesti diperoleh sebagai syarat atau
bagian dari proses penilaian kerugian dan penghitungan nilai ganti rugi yang
semestinya diharapkan.
Kerugian materiel
yang nyata dan obyektif dapat diukur berdasarkan: (a). Perhitungan nilai
ekonomis layanan; (b). Beaya yang ditimbulkan pada saat mengurus pengaduan; dan
(c). Dampak-langsung yang ditimbulkan.
3. Batasan pembayaran ganti rugi.
Rancangan Perpres ini belum memiliki batasan minimum dalam penentuan pembayaran
ganti rugi, sebagai bagian keputusan sanksi terhadap pengaduan masyarakat. Ketiadaan
batasan ganti rugi ini mempersulit bagi pihak penilai dalam menentukan jumlah
yang layak dalam pembayaran ganti rugi.
4. Lembaga penilai ganti rugi. Untuk
menghindari adanya benturan-kepentingan (conflict
of interest) dalam menentukan jumlah ganti rugi dan batasan waktu
pembayarannya, dibutuhkan lembaga penilai. Lembaga penilai ini sudah semestinya
bersifat independen, bebas dari kepentingan Penyelenggara, dan tidak terkait
secara struktural maupun personal dari Penyelenggara pelayanan publik.
5. Perlindungan untuk warga disabilitas.
Perlindungan dari perilaku layanan yang diskriminatif terhadap warga
disabilitas sudah seharusnya menjadi perhatian pula dari Rancangan Perpres. Keberadaan
warga disabilitas atau kelompok warga rentan ini tidak diatur dan dilayani
secara afirmatif oleh Rancangan Perpres.
Untuk menegaskan
perlindungan warga disabilitas, dalam kerangka Rancangan Perpres, semestinya
harus ada afirmasi dalam materi-materi pembahasan Rancangan Perpres.
Diantaranya mengenai perihal pembobotan penilaian. Pembobotan atau skoring
penilaian ini dimaksudkan untuk melakukan penghitungan pembayaran ganti rugi.
Bahkan
semestinya, warga disabilitas atau kelompok rentan, mendapatkan perlakuan yang
sama. Diantaranya adalah melibatkan warga disabilitas atau kelompok rentan
untuk terlibat berpartisipasi dalam penentuan mekanisme dan ketentuan
pembayaran ganti rugi.
6. Keberadaan sanksi administrasi bagi pelaksana. Bahwa
adanya mekanisme ganti rugi dalam pelayanan publik tidak menghilangkan tuntutan
pidana ataupun perdata atas kerugian yang dimunculkan. Dan tidak menggugurkan
sanksi administrasi terhadap pelaksana. Bahkan ini bisa menjadi bagian dari
mekanisme reward and punishment bagi
pelaksana.
Rekomendasi MP3
Sehingga
MP3 merekomendasikan beberapa hal berikut:
(1) Dibutuhkannya pejabat pelayanan pengaduan ditingkat penyelenggara
pelayanan publik. Kedudukan jabatan dari pejabat
pelayanan pengaduan tersebut bersifat fungsional, dan tidak struktural.
(2) Lembaga penilai ganti rugi harus merupakan lembaga
independen. Dapat berupa korporasi/konsultan atau lembaga bentukan Pemerintah
yang khusus untuk melakukan tugas penilaian ganti rugi.
(3) Perlu pengaturan yang lebih jelas bagi ketentuan tentang
kerugian materiel, dengan memperhatikan tiga aspek, yaitu (a). Perhitungan
nilai ekonomis layanan; (b). Beaya yang ditimbulkan pada saat mengurus pengaduan;
dan (c). Dampak-langsung yang ditimbulkan.
(4) Batasan minimum
jumlah dana ganti rugi mesti ditetapkan dengan jelas.
(5) Keberadaan warga disabilitas harus menjadi perhatian
afirmatif dari penyelenggara dalam hal: (i). Menyediakan layanan pengaduan
tuntutan ganti rugi, (ii). Menentukan besaran nilai ganti rugi,. dan (iii).
Menentukan mekanisme pembayaran ganti rugi,
Sumber antara lain dari:
–
Term Of Reference Diskusi Publik MP3, Menakar Peluang dan Tantangan Rancangan
Peraturan Presiden tentang
Mekanisme & Ketentuan Pembayaran Ganti Rugi, Minggu, 2
Oktober 2011.
–
Konsep Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor … Tahun
20xx tentang Mekanisme dan Ketentuan Pembayaran Ganti Rugi dalam Pelayanan
Publik.
–
Konsep Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor … Tahun
20xx tentang Mekanisme dan Ketentuan Pembayaran Ganti Rugi dalam Pelayanan
Publik, Draft Perpres Ganti Rugi, 22
Agustus 2011.
–
Notulensi Diskusi Publik MP3, Menakar Peluang dan Tantangan Rancangan Peraturan Presiden tentang
Mekanisme & Ketentuan Pembayaran Ganti Rugi, Minggu, 2 Oktober 2011.
Untuk Pelayanan Publik yang Adil dan
Berkualitas
Materi ini dibuat oleh
Masyarakat Peduli Pelayanan Publik
(MP3)
Alamat Sekretariat :
Jl Pedati Raya No.
20 RT 007/09 Jakarta Timur 13350
Telp.
+62-21-8191623, Fax. +62-21-850 0670
Multiply:
www.jaringanmp3.multiply.com
[1] Pasal 60 UU Pelayanan Publik